JAKARTA, Berita HUKUM - Pada hari Senin dilangsungkan acara Lokakarya Penanganan Tindak Pidana Kehutanan yang bertemakan; "Pemberantasan Kejahatan Kehutanan. Terorganisasi dan Sistematis (Organize Crimes) yang Berkeadilan". Adapun, acara lokakarya tersebut dilangsungkan di Kawasan Cikini, Hotel Aryaduta, Jakarta Pusat pada, Senin (15/6).
Pembukaan Lokakarya mengenai Penanganan Kejahatan Kehutanan yang diselenggarakan bersama oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, TFCA, dan UNODC dari pantauan pewarta BeritaHUKUM tampak cukup ramai.
Pertumbuhan hutan di Indonesia terus menurun, seiring dengan illegal logging yang masih menghantui dewasa ini. Untuk itu Kementerian Kehutanan telah mengupayakan langkah-langkah penyelamatan hutan di Indonesia, dengan penegakan hukum melalui kerjasama dengan instansi dan unsur serta Lembaga sebagai alat atau baik instrumen lokal maupun internasional, seiring dengan adanya perubahan iklim dan mulai banyaknya bencana ekologis yang terus menimpa beberapa daerah. Kejahatan Kehutanan telah bermetamorphosis dalam berbagai bentuk yang semakin meluas.
Sedangkan, "kejahatan terkait illegal logging, yakni perambahan kawasan, perambahan hutan, semua terkait satu sama lain, kita membutuhkan input dari pemerintah, LSM (NGO), Perguruan Tinggi (Akademisi) Kejaksaan, Kepolisian, dimana kami menyelasikan secara holistik," ujar Drs. Rasio Ridho Sani, M.Com, M.P.M, selaku Dirjen Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan, saat diwawancarai pewarta BeritaHUKUM.com, selepas acara lokakarya selesai.
Memang, Illegal logging ini menjadi persoalan bangsa. Dan harapan ke depannya dari lokakarya yang hasilnya akan disiapkan dalam tim kecil, nantinya akan dibuat tim dalam kementerian yang terkait dengan perbaikan tata kelola, Perijinan, Kebijakan ini rencananya akan disampaikan dari lngkungan hidup dan kehutanan.
"Ada secara mandat tertuang dalam UU 18 tahun 2013, terkait dengan PPP Hutan. itu sedang kita siapkan lembaganya. Dimana mempunyai wewenang dan mandat untuk penegakan hukum, bekerjasama dengan pihak kejaksaan, kepolisian. Diharapkan untuk pencegahan dan pemberantasan," jelas Rasio Ridho Sani.
Tindak pidana trans-Nasional terorganisasi di sektor Kehutanan dan Tumbuhan dan Satwa Liar (TSL) lebih banyak terjadi di negara-negara berkembang. Seperti dibawah pemerintahan yang memiliki SDA yang melimpah, namun sering tidak memiliki kapasitas untuk mengatur pemanfaatan kekayaan alam mereka.
"Ada secara mandat UU no 18 tahun 2013, terkait dengan P3H, itu sedang kita siapkan lembaganya. Mempunyai wewenang dan mandat untuk penegakan hukum, bekerjasama dengan pihak kejaksaan, kepolisian. Diharapkan untuk pencegahan dan pemberantasan," ungkapnya.
"Diindikasikan data UNODC sekitar 6 Million US dollar (sekitar 6 juta x Rp.Rp.13.000), Potensi kerugian negara dari TSL, 7 - 8an Triliun Rupiah per Tahun. Kejahatan kehutanan menjadi penting, karena terkait dengan masyarakat luas. Seperti banjir, tanah longsor, penduduk kesulitan memperoleh income. Makanya, kejahatan kehutanan itu termasuk dalam Extra Ordinary Crime, ini yang harus kita benahi secara tegas," tandas Dirjen.
"Kita tahu, tahun depan akan merevisi UU tentang sumberdaya hayati dan ekosistem, dimana kita bisa memperkuat konservasi dan penegakan hukum terhadap kejahatan kehutanan." Pungkas Dirjen Penegakan Hukum LHK, Rasio Ridho Sani.(bh/mnd) |