JAKARTA, Berita HUKUM - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perbaikan permohonan uji Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK), pada Selasa (12/11). Sidang perkara Nomor 62/PUU-XVII/2019 ini dilaksanalakan oleh Panel Hakim yang terdiri atas Ketua MK Anwar Usman sebagai Ketua Panel, Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams dan Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih masing-masing sebagai Anggota Panel.
Gregorius Yonathan Deowikaputra selaku Pemohon langsung menyampaikan perbaikan permohonan. "Berdasarkan masukan dari Majelis Hakim pada persidangan sebelumnya, saya menambahkan nomor pada undang-undang yang akan diuji menjadi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi," kata Pemohon.
Selain itu, Pemohon menambahkan pada bagian Kewenangan Mahkamah Konstitusi dengan dasar hukum menjadi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
"Perbaikan permohonan berikutnya, permohonan ini menjadi permohonan untuk pengujian formil atas pembentukan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Lembaran Negara Nomor 197 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 6409 terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945," urai Pemohon.
Sebagaimana diketahui, Pemohon terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) pada Pemilu Tahun 2019 sehingga mempunyai hak untuk memilih anggota DPR. Pemohon merasa dirugikan dengan kinerja DPR yang telah dipilih dan diberi mandat untuk menjalankan fungsinya antara lain legislasi. Menurut Pemohon, DPR tidak melaksanakan amanah tersebut secara baik, jujur, adil, terbuka, itikad baik, dan bertanggung jawab. Hal ini terbukti dengan disetujuinya UU Perubahan Kedua UU KPK yang sejak awal rancangannya telah mendapat penolakan dari berbagai kalangan masyarakat sehingga pembahasannya timbul tenggelam sejak 2010.
"Pembentukan UU Perubahan Kedua UU KPK, sebagaimana dilansir berbagai media, dapat dikatakan telah dilakukan dengan tertutup dan sembunyi-sembunyi tanpa melibatkan masyarakat luas. Masyarakat sulit mengakses risalah rapat di website resmi DPR. Dengan adanya fakta tersebut, jelas bahwa UU Perubahan Kedua UU KPK tidak dilandasi dengan adanya asas kedayagunaan dan kehasilgunaan serta keterbukaan yang merupakan asas-asas wajib yang harus diterapkan oleh DPR dalam melakukan pembentukan suatu undang-undang sebagaimana digariskan dalam Pasal 118 Tata Tertib DPR," papar Gregorius kepada Majelis Hakim yang dipimpin Ketua MK Anwar Usman pada sidang pemeriksaan pendahuluan, Rabu (30/10/2019) lalu.
"Dilanggarnya asas kedayagunaan dan kehasilgunaan dalam pembentukan UU a quo terbukti dengan banyaknya penolakan oleh masyarakat luas. Dengan penolakan tersebut telah menjadi bukti nyata bahwa UU a quo tidak bermanfaat dan tidak dibutuhkan masyarakat luas dan asas keterbukaan yang telah dilanggar tersebut telah nyata karena tidak terbukanya akses publik untuk dapat memberikan masukan dan usulan atas undang-undang tersebut," tambah Gregorius.
Dalam petitum, Pemohon meminta MK untuk menyatakan pembentukan UU KPK bertentangan dengan UUD 1945 dan oleh karenanya harus dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.(NanoTresnaArfana/NRA/MK/bh/sya) |