JAKARTA, Berita HUKUM - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang Pengujian Undang-Undang MK yang dimohonkan oleh Herdaru Manfa Luthfie dan Fajar Kurniawan, Selasa (22/10). Pada sidang kali ini dengan diwakili Pradnanda Berbudi selaku kuasa hukumnya, Pemohon menyampaikan telah melakukan beberapa perbaikan dan perubahan dalam permohonan mereka.
Pradnanda dihadapan panel hakim yang diketuai Hakim Konstitusi Harjono menyampaikan bahwa Pemohon pada permohonannya yang sudah memperbaiki dengan menambahkan norma yang diajukan untuk diuji. Bila sebelumnya Pemohon hanya menguji Pasal 18 ayat (1) dan (2) serta Pasal 20 ayat (1) dalam Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, setalah perbaikan Pemohon menambahkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi untuk diuji. Selain itu, pada perbaikan permohonannya, Pemohon juga menghilangkan permohonan pengujian terhadap Pasal 18 UU MK.
“Jadi yang kami sekarang (uji) adalah Pasal 19 Undang-Undang MK, Pasal 20 ayat (1), (2), dan (3) Perpu 1 Tahun 2013,” ujar Pradnanda.
Lebih lanjut Pradnanda menjelaskan bahwa Pemohon tidak menyatakan sikap setuju atau sikap ketidaksetujuan terhadap Perpu No. 1 Tahun 2013 melainkan mempermasalahkan ketentuan tentang rekrutmen hakim konstitusi. Menurut Pradnanda, Pasal 20 ayat (1) dan (2) UU MK bertentangan dengan Pasal 24C ayat 6 UUD 1945. Pasalnya, dalam Pasal 20 ayat (1) dan (2) dinyatakan pengangkatan dan pencalonan hakim konstitusi diatur dalam peraturan internal sedangkan Pasal 24C ayat (6) UUD 1945 secara tegas menyebutkan bahwa pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi terkait hukum acara serta ketentuan lainnya tentang Mahkamah Konstitusi harus diatur dengan undang-undang. “Artinya, semua harus selesai dengan undang-undang, Majelis. Walaupun kami sadar bahwa Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan mengamanatkan adanya peraturan-peraturan internal, tetapi Konstitusi jelas menyebut untuk diatur dengan undang-undang,” jelas Pradnanda.
Pemohon pun mempertanyakan akuntabilitas dan objektivitas dari uji kelayakan yang diberlakukan kepada calon hakim konstitusi. Menurut Pemohon, seperti yang disampaikan Pradnanda, pencalonan hakim konstitusi harus dilakukan secara transparan dan partisipatif. Artinya, calon hakim konstitusi harus dipublikasikan di media cetak maupun elektronik sehingga masyarakat luas mempunyai kesempatan untuk ikut memberikan pendapat. “Nah, prinsip ini kemudian ditinggalkan oleh perppu (Perppu No. 1 Tahun 2013, red) sedangkan Undang-Undang MK sendiri tidak pernah mengatur hal itu. Bahkan uji kelayakan dan lainnya juga tidak diatur,” tukas Pradnanda.(Yusti Nurul Agustin/mh/mk/bhc/sya) |