JAKARTA, Berita HUKUM - Pemerintah dan DPR saling lempar tanggungjawab terkait agenda revisi UU KPK. Di tengah derasnya sorotan publik atas agenda pelemahan KPK dibalik revisi UU tersebut, pemerintah dan DPR kini saling tunjuk. DPR menyebut pemerintah yang menjadi pihak pengusul, di sisi lain, pemerintah juga menegaskan kalau DPR lah yang menjadi insiator.
"Jangan salah, itu usul inisiatif DPR, bukan usul kami (pemerintah, Red)," tegas Yasonna, saat ditemui di komplek Istana Kepresidenan, Jakarta, kemarin Rabu (17/6). Ketika itu, Menteri dengan latar politisi PDIP itu baru saja selesai memenuhi panggilan Presiden.
Dia diminta datang ke istana, khusus untuk menjelaskan hal ikhwal polemik soal agenda revisi UU KPK tersebut.
Dia membeber kalau tahun ini, pemerintah hanya mengajukan revisi terhadap 10 UU. Diantara, RUU inisiatif pemerintah tersebut, revisi UU KPK tidak termasuk didalamnya.
"Ya kan kadang-kadang orang nggak mengerti ya, orang-orang yang mengerti (tapi) kasih komentar, tolol saja begitu. Jadi, nggak tahu informasi langsung serodok saja," kata Yasonna, menaggapi sejumlah sorotan yang muncul terhadap pemerintah.
Dia mengakui kalau telah melakukan pra pembahasan bersama Komisi III terkait rencana revisi UU KPK tersebut. Yaitu, dalam sejumlah kesempatan rapat di DPR beberapa waktu lalu. Salah satu yang muncul ketika itu, adalah keprihatinan tentang maraknya fenomena praperadilan atas penetapan tersangka oleh KPK, belakangan ini.
Dalam forum bersama DPR itu, lanjut Yasonna, memang sempat menyinggung tentang konsep kewenangan penyadapan oleh KPK sebagai salah satu faktor penyebab maraknya praperadilan. Intinya, bahwa kewenangan itu perlu diatur lebih lanjut dalam UU agar tidak justru menjadi celah hukum di kemudian hari.
"Lalu, mereka (DPR, Red) menyatakan sanggup merevisi itu sesegera mungkin. Kalau siap, ya kamitidakkeberatan," tuturnya. Menurut dia, pemerintah tidak bisa menolak karena usulan revisi tersebut inisiatif DPR.
Yasonna memabandingkan hal yang sama ketika pemerintah yang berada di posisi sebagai pengusul dalam sebuah rencana revisi UU tertentu. DPR pun tak bisa menolak. Pemerintah maupun DPR hanya perlu mengoordinasikannya terkait waktu pembahasan. "DPR katakan segerakan saja (revisi UU KPK), ya sudah kami siap membahasnya bersama, seperti apa drafnya, itu nanti kita tunggu saja," imbuhnya.
Dia juga menegaskan kalau pemerintah tidak bisa ikut masuk dalam penyusunan draf revisi yang merupakan inisiatif DPR tersebut. Kekhawatiran sejumlah pihak kalau draf berisi agenda-agenda pelemahan terhadap KPK, hanya bisa disambut saat nanti sudah sampai dalam proses pembahasan bersama DPR dengan pemerintah.
"Nanti kalau (draf revisi UU KPK) dari DPR sudah masuk presiden, nanti baru presiden kirim menteri membahas bersama DPR, di situ baru kita berdebat," bebernya.
Khusus soal penyadapan, secara pribadi, lebih setuju dikuatkan atau dilemahkan. "Yasonna hanya menyatakan kalau yang penting harus ada pengaturan terkait hal tersebut." Kebutuhan tersebut, menurut dia, juga berkaca dari banyak negara-negara lain. "Di Hongkong, dimana-mana, dalam menetapkan penyadapan harus ada aturan, ada yang melalui hakim, ada yang melalui tim apa gitu," katanya.
Tanpa dengan menyatakan akan lebih membatasi kewenangan penyadapan yang dimiliki KPK nantinya, dia menambahkan, kalau aksi tersebut memang tidak bisa dilakukan semaunya. Ada hak individual dan hak asasi yang juga harus jadi perhatian. "Seperti apa modelnya nanti kita sepakati. Tapi, jangan belum-belum sudah apriori. Aku di posisi menunggu," tandas Yasonna.
Senada, Mensesneg Pratikno menegaskan kalau pemerintah tidak bisa berbuat apa-apa atas rencana revisi UU KPK. Pasalnya, revisi UU tersebut masuk sebagai inisiatif DPR. Presiden, menurut dia, juga tidak memiliki niatan untuk melakukan revisi UU KPK. "Yang ada sekarang terjadi itu kan inisiatif DPR," tutur Pratikno, juga saat ditemui di komplek Istana Kepresidenan, kemarin.
Pada kesempatan tersebut, dia juga belum mau menjanjikan kalau pemerintah akan memasukkan poin-poin yang justru akan menguatkan. Misalnya, terkait pandangan sejumlah pihak tentang perlunya hak imunitas terhadap pimpinan KPK. "Ya, belum tahu, namanya tidak ada rencana melakukan revisi UU (KPK)," elaknya.
Wakil ketua badan legislastif (baleg) DPR Firman Soebagyo membantah pernyataan Yasonna. Menurut Firman, justru pemerintah yang awalnya mengajukan revisi UU no 30 tahun 2002 itu. "Kami ada buktinya. Jangan mencla-mencle," jelasnya.
Politikus Golkar itu menjelaskan, pada saat rapat baleg itu, Yasonna mengajukan tiga RUU tambahan dari pemerintah. Yaitu RUU Bea Materai, RUU Terorisme dan RUU revisi UU KPK. Saat itu sempat terjadi perdebatan antara baleg dan Yasonna. Pasalnya dari 10 RUU yang diajukan pemerintah belum ada yang rampung. Nah, jika mengajukan RUU baru maka akan 37 program legislasi nasional tahun 2015 tidak akan selesai. "Namun dia ngotot bisa menyelesaikan. Mereka mengatakan bisa menyiapkan draftnya. Oke kami sepakati," jelasnya.
Dalam pengajuan revisi tersebut, ada beberapa poin dari UU KPK yang akan dirubah. Yakni terkait kepemimpinan kolektif kolegial, kewenangan penyadapan, adanya dewan pengawas KPK. Dan kewenangan penuntutan yang disesuaikan dengan kejaksaan.
Ketua DPR Setya Novanto mengatakan revisi UU KPK itu pada prinsipnya tidak melemahkan KPK. Namun justru menguatkan komisi Antirasuah itu. "Kami sangat mendukung komitmen penguatan KPK," ujar Setya usai meresmikan ruang pengaduan dan informasi kemarin.
Setya mengatakan, RUU revisi KPK sudah diterima oleh pimpinan DPR. Pimpinan pun sudah membahas. Politisi Golkar itu mengatakan, pada saat rapat paripurna, usulan perubahan UU KPK itu akan dibacakan utnuk mendapatkan persetujuan. Nah, setelah semua anggota dewan sepakat, maka RUU itu akan diserahkan ke komisi III untuk dibahas dengan pemerintah.
Wakil Ketua DPR Taufik Kurniawan menjelaskan dalam pembahasan revisi UU KPK itu belum ada rencana untuk menghilangkan kewenangan penyadapan. Pasalnya kesepakatan menghilangkan hak untuk menyadap itu harus persetujuan DPR dan pemerintah. "Jadi belum bisa disimpulkan. Masih terlalu dini," terangnya.
Terpisah, rencana revisi UU KPK ditentang Indonesia Corruption Watch (ICW). Mereka menganggap revisi UU KPK kembali membonsai lembaga antirasuah tersebut. "Seperti misalnya soal kewenangan penyadapan. Pelemahan seperti ini kan sudah akan dilakukan lewat RUU KUHAP," kata peneliti ICW, Lalola Ester.
Dalam revisi RUU KUHAP pernah diajukan agar penyadapan yang dilakukan KPK harus ada ketetapan Pengadilan Negeri (PN). "Kalau tak ada ijin disebut tak sah. Ini tentu bentuk mengurangi kewenangan yang bisa melemahkan KPK," terangnya.
Menurut Lalola penyadapan selama ini menjadi senjata KPK untuk mengungkap korupsi-korupsi kelas kakap. Meskipun memiliki kewenangap menyadap, namun para koruptor tetap saja di pengadilan masih bisa berkelit.
ICW juga menyoroti upaya melemahkan KPK melalui pembentukan Dewan Pengawas. Lalola menyebut keberadan dewan pengawas tidak perlu. Sebab di KPK sudah ada pengawasan internal untuk pegawai dan Komite Etik untuk komisioner. "Harusnya kan instrument itu yang diberdayakan. Bukan malah membentuk dewan pengawas," katanya.
Terpisah, Juru Bicara KPK Johan Budi sependapat dengan ICW. Jika memang tujuan merevisi untuk menghilangkan kewenangan penuntutan dan penyadapan, maka pelemahan KPK jelas terjadi. "Saya pribadi yakin Presiden Jokowi tidak akan menciderai komitmen untuk memperkuat KPK. Oleh sebab itu, saya yakin pemerintah tidak menyetujui upaya revisi UU KPK," ujar Johan.
Hari ini Kamis (18/6) DPR RI Komisi III melakukan Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan KPK, diketuai oleh Benny K Harman dari Fraksi Partai Demokrat. seluruh Pimpinan KPK hadir mengikuti RDP yang membahas berbagai isu-isu aktual dan permasalahan tentang KPK.(dyn/aph/gun/indopos/kpk/bh/sya) |