JAKARTA, Berita HUKUM - Pemerintah menilai keputusan Uni Eropa mengenakan bea masuk anti dumping sementara sebesar 2,8%-9,6% untuk biodiesel dari Indonesia dinilai tidak tepat.
Pemberlakukan bea masuk anti dumping sementara tersebut sebagai kelanjutan tuduhan Uni Eropa yang menuduh Indonesia menjual biodisel dengan harga rendah dari pasar Eropa, atau dikenal dengan praktik dumping.
Dari perspektif Uni Eropa, rendahnya harga biodiesel disebabkan serapan kapasitas produksi lebih rendah dari kapasitas kebutuhan industri Uni Eropa. "Eropa kapasitas industrinya 20 juta-22 juta ton dengan berbagai macam bahan baku. Sampai saat ini pasar Eropa baru menyerap 10 juta ton. Sekitar 2 juta-2,5 juta ton bahan bakunya bersal dari dari Indonesia dan Argentina," kata Wakil Menteri Perdagangan, Bayu Krisnamurthi di Jakarta, Jumat (31/5).
Tak hanya Indonesia, Argentina yang memasok biofuel ke Uni Eropa juga dikenakan bea masuk anti dumping sementara, bersama 5 negara lain, dengan presentase bervasiasi dari 2,8%-10,8%.
Bea masuk anti dumping sementara tersebut bersifat kepada perusahaan (produsen) biodiesel. Oleh karena itu, Kemendag akan mendampingi Asosiasi Produsen Biofuel (Aprobi) untuk melawan tuduhan Uni Eropa tersebut. "Kita ikuti timetable. 30 hari pertama kami ajukan keberatan. Kemendag akan dampingi perusahaan tersebut 90 hari akan ada proses pengumpulan. Kalau keputusannya tidak sesuai, perusahaan akan ajukan ke pengadilan internasional. Kalau itu masih belum maka jalur yang akan diambil adalah ke WTO," jelas Bayu.
Tak hanya Indonesia, Argentina yang dikenakan bea masuk anti dumping sementara hingga 10,8% juga akan melakukan tindakan sama. "Argentina juga kena. Dia juga akan lawan," lanjut Bayu.(dry/ipb/bhc/opn) |