JAKARTA (BeritaHUKUM.com) – Pemerintah diminta untuk tidak memaksakan program pembatasan subsidi BBM berlaku mulai 1 April 2012, tanpa memperhatikan dampak negatif dan kerugian masyarakat yang akan timbul. Pemerintah harus menyiapkan langkah-langkah solutif bersaman dengan pelaksanaan program tersebut agar dampak negatif dapat dikurangi.
“Jika tidak, lebih baik prorgram tersebut ditunda. Jangan karena anggaran subsidi 2011 membengkak menjadi Rp 167 triliun akibat terlampauinya kuota BBM bersubsidi, pemerintah bertindak reaktif dan memaksakan program pembatasan harus terlaksana. Direktur Indonesian Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara dalam rilisnya, Selasa (10/1)
Menurut dia, pemerintah terkesan hanya ingin mengambil langkah yang gampang, karena memegang kekuasaan tanpa ingin susah melaksanakan kewajiban memenuhi hak rakyat. Padahal, mayoritas rakyat menggunakan kendaraan pribadi, karena transportasi publik tidak memadai dan jauh dari rasa aman serta nyaman.
Angkutan publik tidak saja minim subsidi, tapi sarana jalan raya juga terbatas. Sedangkan jalan raya dibangun itu, hanya untuk memenuhi kepentingan pengusaha berbisnis jalan tol. Terlihat jelas bahwa pemerintah tidak mempunyai rencana dan sistem yang menyeluruh serta memihak kepentingan mayoritas rakyat untuk memperoleh pelayanan transportasi publik yang memadai. Pemerintah telah berlaku sewenang-wenang, tidak mempedulikan hak rakyat untuk memperoleh pelayanan.
“Kami bukan tidak sadar bahwa subsidi harus dibatasi.Tapi sSubsidi harus diberikan secara tepat sasaran, objektif dan berkeadilan, karena sistem dan harga yang ada saat ini telah berlaku lama, energi maupun transportasi alternatif belum tersedia optimal, maka perbaikan yang diperlukan tidak cukup dengan program sederhana dan instan,” jelas Marwan.
Untuk itu, pemerintah perlu menyiapkan rencana pembatasan subsidi secara komprehensif, terinegrasi dengan energi bentuk lain, tahapan implementasi yang terukur, pembahasan seksama bersama DPR dan sosialisasi terbuka kepada masyarakat. Program pembatasan BBM yang ada saat ini lebih merujuk pada gagasan-gagasan yang datang dari Wamen ESDM, tanpa didahului kesepakatan bersama.
Marwan mengungkapkan, Wamenkeu menyatakan pemerintah belum siap menerapkan pembatasan konsumsi BBM di seluruh Jawa-Bali sejak April 2011, kecuali secara bertahap. Namun Menko Perekonomian dan Menteri ESDM memastikan jadwal tersebut tidak akan molor. Untuk itu, Presiden SBY dan Menko Perekonomian perlu membereskan kordinasi internal pemerintah ini terlebih dahulu sebelum memaksakan program yang tampaknya jauh dari perencanaan matang dan terintegrasi.
Dirinya juga setuju program konversi BBM ke gas merupakan salah satu cara terbaik untuk mengurangi subsidi BBM. Selain lebih murah dibanding BBM, penggunaan gas lebih ramah lingkungan dan tersedia lebih banyak di dalam negeri, sehingga mendukung upaya kemandirian energi. Peningkatan penggunaan gas memang telah menjadi trend global di seluruh dunia.
“Tapi sebelum program konversi dilaksanakan, berbagai prasyarat harus dipenuhi pemerintah baik dalam bentuk kebijakan atau aturan, maupun dalam bentuk program aksi, sarana dan anggaran. Pemerintah memang punya hak memerintah, tetapi juga mempunyai kewajiban melayani dan melindungi kepentingan rakyat. Jika hal itu sulit, jangan memaksakan kehendak,” tandas Marwan.(rls/ind)
|