JAKARTA (BeritaHUKUM.com) – Direktur Indonesian Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara meminta pemerintah melalui Menteri ESDM untuk segera menyelesaikan proses renegosiasi kontrak pertambangan, seperti Kontrak Karya (KK) dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) pada Februari 2012 ini.
Jika tidak dilakukan, lanjut dia, hasil renegosiasi yang telah dicapai saat ini menjadi sia-sia. Pasalnya, ada upaya atau konspirasi pihak-pihak tertentu untuk menggagalkan perubahan KK dan PKP2B sesuai perintah UU Nomor 2/2009 tentang Minerba. Dalam upaya menggagalkan renegosiasi, konspirasi tersebut diduga telah memengaruhi sejumlah kalangan, organisasi profesi dan oknum pemerintah.
“Konspirasi ini juga ditengarai sedang mempersiapkan diri untuk mengajukan judical review terhadap sejumlah ketentuan atau pasal yang ditetapkan dalam UU Minerba. Untuk itu, IRESS meminta Presiden SBY dan Menteri ESDM Jero Wacik untuk bersikap tegas bahwa renegosiasi merupakan amanat konstitusi dan perintah UU yang harus dipatuhi siapapun tanpa kecuali,” kata Marwan Batubara dalam rilisnya yang diterima BeritaHUKUM.com, Rabu (1/2).
IRESS, lanjut dia, juga meminta DPR RI menjalankan tugas pengawasan atas terlaksananya perintah UU Minerba oleh eksekutif. Jangan sampai akibat ulah beberapa oknum pemerintah dan intervensi oknum-oknum kontraktor besar, termasuk kontraktor asing yang mengabaikan sejumlah ketentuan yang ada dalam UU Minerba.
“Padahal, pemerintah, DPR dan rakyat telah bekerja dengan upaya yang besar dan mahal selama 10 tahun untuk dapat menghasilkan UU Minerba untuk menggantikan UU Nomor 11/1967 yang dianggap merugikan bangsa dan negara ini,” papat dia.
Seperti diketahui, pada 1 Juni 2011 lalu, Presiden SBY menyatakan bahwa pemerintah sedang menempuh upaya renegosiasi, agar diperoleh kontrak yang logis, lancar, adil dan membawa manfaat. Saat itu, Presiden meminta Menteri ESDM menindaklanjuti proses renegosiasi, agar keuntungan yang diperoleh negara lebih besar. Dikhawatirkan pernyataan-pernyataan Presiden tersebut hanya pidato yang menyejukkan hati dan memberi harapan, namun akan berakhir tanpa hasil.
Sementara pada 2 Juni 2011 lalu, Kementerian ESDM menyatakan bahwa renegosiasi kontrak telah berlangsung sejak 14 Januari 2010. Ada enam isu strategis yang menjadi fokus renegosiasi. Hal itu antara lain luas wilayah kerja, perpanjangan kontrak, penerimaan negara (pajak & royalti), kewajiban divestasi, kewajiban pengolahan dan pemurnian, dan kewajiban penggunaan barang dan jasa pertambangan dalam negeri.
Pada rapat kerja dengan Komisi VII DPR RI pada 29 September 2011 lalu, Menko Perekonomian Hatta Rajasa mengakui bahwa sudah 65 persen dari total perusahaan pertambangan yang telah menyetujui prinsip-prinsip renegosiasi kontrak tersebut. Berdasarkan data Kementerian ESDM, tercatat ada 42 perusahaan yang terikat kontrak karya dan 76 perusahaan PKP2B.
Ternyata target penyelesaian negosiasi kontrak meleset. Bahkan dengan adanya rencana judicial reveiew UU Minerba, kesepakatan yang telah dicapai dengan 65 persen dari total perusahaan di atas terancam buyar. Padahal proses yang antara lain melibatkan pakar-pakar pertambangan dan hukum, antara lain Prof. Dr. Hikmahanto Juwana dan Prof. Daud Silalahi tersebut, telah menghabiskan tenaga, pikiran, dana dan waktu yang besar dan lama.
Segera Tanda tangani
Atas dasar tersebut, kata Marwan Batubara, IRESS juga menuntut agar pemerintah segera menandatangi KK dan PKP2B baru dengan kontraktor-kontraktor yang telah menyetujui perubahan kontrak (65 persen), sesuai kesepakatan renegosiasi dengan pemerintah, yakni PT Agincourt Resources, PT Iriana Mutiara Mining, PT Tambang Mas Sable, PT Avocet Bolaan Mongondow, PT Tambang Mas Sangihe, PT Ensbury Kalteng Mining, PT Kumamba Mining, PT Karimun Granite, PT Koba Tin, PT Gorontalo Minerals, dan PT Gorontalo Sejahtera.
Kepada kontraktor yang masih juga belum menyetujui perubahan sesuai perintah UU, pemerintah harus bersikap tegas, antara lain dengan penetapan waktu target penyelesaian, serta penerapan sanksi berupa denda dan pemutusan kontrak.
IRESS juga berharap, agar pembentukan tim evaluasi bukanlah skenario atau upaya untuk melindungi atau membebaskan Presiden dari tanggung jawab potensi kegagalan proses renegosiasi yang pernah dicanangkan. Sebaliknya, IRESS mengharapkan Presiden justru mendukung penuh dan berada di garis depan. “Hal ini merupakan renegosasi tugas eksekutif sesuai amanat konstitusi dan perintah UU yang harus diwujudkan demi keadilan, kedaulatan dan harga diri bangsa,” tandas Marwan.(rls/ind)
|