JAKARTA, Berita HUKUM - Ribuan aksi massa dari berbagai organisasi menolak penaikan BBM oleh pemerintah yang digelar selama sidang berlangsung pada hari Senin tanggal 17 Juni di depan DPR, begitu pun dengan aksi yang digelar hampir di seluruh daerah menolak kenaikan BBM ternyata tidak merubah sikap anggota dewan di senayan. DPR telah mengesahkan APBN-P 2013 yang didalamnya melegitimasi dan menjustifikasi alasan kenaikan BBM pada tahun ini.
Front Perjuangan Rakyat (FPR), aliansi organisasi massa militan, demokratis dan patriotik, mengecam hasil sidang paripurna DPR RI tersebut yang memutuskan untuk mencabut subsidi pada bahan bakar minyak (BBM). Rudy HB Daman, Kordinator Umum FPR, yang memimpin aksi ribuan massa di depan gedung DPR kemaren, hari ini menyatakan bahwa keputusan ini adalah bentuk kepala batunya DPR dan Pemerintah memaksakan kenaikan tersebut.
Dan ini juga membuktikan bahwa argumentasi yang dikemukan oleh FPR bahwa Indonesia telah tergadaikan karena tunduk terhadap kepentingan monopoli asing di Indonesia. “Ini jelas adalah pelanggaran atas konstitusi karena negara telah melepaskan tanggung jawab untuk menjamin terpenuhi hak ekonomi, sosial dan budaya (ekosob) bagi warga negara Indonesia,” kilahnya. Rudi menambahkan masalah 70 persen ladang minyak produktif milik Indonesia konsesinya dimiliki oleh perusahaan asing seperti Exxon Mobil, Shell, BP, Chevron dan Conocco Phillips, dan Indonesia masih harus membeli minyak dengan harga minyak jadi, sementara Indonesia menjual dengan harga minyak mentah kepada mereka, ya jelaslah APBN merugi” tegas Rudi, yang juga merupakan Ketua International League of People Sturggle (ILPS)-Indonesia chapter.
Irhash Ahmady dari Walhi mengatakansebenarnya negara telah addicted terhadap energy fosil yang nyata-nyata telah merusak lingkungan. Sementara negara tidak pernah serius membangun energy terbarukan, merubah pola transportasi kearah yang lebih massif seperti MRT dan lain sebagainya. “Kita punya potensi energy terbarukan di Indonesia, namun sayangnya lagi-lagi isu lingkungan digunakan untuk kepentingan monopoli asing dengan pengembang jutaan hektar sawit yang jelas merampas tanah rakyat”, tegasnya. Irhash yang juga Manager Pengetahuan dan Jaringan ini menjelaskan pada negara telah mentargetkan 20 juta Ha kebun sawit akan dikembangkan hingga tahun 2020. Yang pasti ini akan mengancam kedaulatan pangan (food soverignty) Indonesia.
Persolan pencabutan subsidi BBM ini tidak dapat dipisahkan dari tidak berdiri tegaknya ekonomi politik nasional ditengah krisis kapitalisme monopoli Internasional. Ahmad SH dari juru bicara Indonesia Peoples Alliance (IPA) mengatakan bahwa pencabutan subsidi bbm adalah austerity measures (kebijakan pengetatan) ditengah krisis dunia hari ini yang juga berlaku umum di negara baik maju maupun berkembang lainnya. “Butuh satu konsolidasi global menghadapi krisis ini dan bersama-sama mencari jalan keluar yang tentu menguntungkan rakyat”, tegasnya.Ario Adityo, dari Institute for National and Democracy Studies (INDIES) mengatakan. Tahun ini Indonesia menjadi host bagi pertemuan global yang menentukan masa depan dunia.
Ditengah liberalisasi ekonomi yang menjadi nafas dari krisis dunia hari ini, sudah sepatutnya Indonesia mengkaji ulang seluruh perjanjian bebas dimana Indonesia terlibat, terutama di WTO dan APEC. “Sudah terbukti banyak ruginya daripada untungnya, Indonesia butuh arah baru dalam kebijakan pembangunan nya, arah yang dimana kedaulatan, kerja sama saling menguntungkan, dan perdagangan yang mengabdi rakyat menjadi jalan untuk mewujudkan Indonesia baru” terang Ario.FPR dalam rencananya akan terus menggalang konsolidasi yang massif meluas untuk membangun satu sikap politik pasca kenaikan BBM ini. Rejim yang tidak mengabdi kepada rakyat dan lebih mengabdi kepada kepentingan kapitalis monopoli asing di bawah Amerika akan terus mendapatkan perlawanan dari seluruh rakyat Indonesia.(rls/bhc/opn) |