KARAWANG (BeritaHUKUM.com) – Pemerintah Belanda akhirnya bersedia untuk membayar kompensasi terhadap para janda yang suaminya menjadi korban pembantaian tentaranya d rawagede, Kabupaten Karawang, Jawa Balanda, pada 9 Desember 1947.
Kesediaan pembayaran tersebut, setelah setelah Pengadilan Sipil Belanda di Den Haag memenangkan gugatan para janda tersebut. "Walaupun gugatannya sudah dimenangkan Pengadilan Sipil Belanda, tetapi pembayaran kompensasi kepada janda yang suaminya menjadi korban peristiwa Rawagede belum sampai menyebutkan angka," kata Ketua Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB) Batara Hutagalung di Karawang, Kamis (15/9).
Sesuai dengan putusan hakim Pengadilan Sipil Belanda pada Rabu (14/9) malam waktu setempat, jelas dia, seperti diberitakan Antara, telah diputuskan Pemerintah Belanda telah melakukan kejahatan perang di Rawagede. Untuk itu, para janda korban peristiwa Rawagede akan mendapat kompensasi dari Pemerintah Belanda.
Namun, lanjut dia, aturan mengenai pembayaran kompensasi kepada para janda yang suaminya menjadi korban pembantaian Rawagede itu didasarkan kepada UU yang berlaku di Belanda. Ia berharap kompensasi yang dimaksudkan itu bukan hitung-hitungan ganti rugi per kepala, melainkan memperhitungkan daerah tempat pembantaian tersebut yang merupakan daerah petani.
Dengan adanya pembantaian tentara Belanda yang korbannya itu umumnya laki-laki telah mengakibatkan roda ekonomi di daerah itu terganggu. Hal tersebut mengakibatkan roda ekonomi di daerah itu mengalami kemunduran 10-20 tahun ke belakang, akibat ratusan laki-laki di daerah itu menjadi korban pembantaian.
Batara menjelaskan, pada 9 Desember 1947 tentara Belanda melakukan pembantaian terhadap 431 penduduk Rawagede. Aksi pembantaian itu dipimpin seorang militer berpangkat mayor dengan mengepung Desa Rawagede dan menggeledah setiap rumah. Tetapi mereka tidak menemukan sepucuk senjatapun.
Setelah itu, para tentara Belanda memaksa seluruh penduduk desa itu keluar rumah dan mengumpulkannya di sebuah lapangan. Penduduk laki-laki diperintahkan untuk berdiri berjejer, kemudian mereka ditanya tentang keberadaan para pejuang Republik. Tetapi tidak satupun rakyat yang mengatakan tempat persembunyian para pejuang tersebut.
Tentara Belanda kemudian menembak mati semua penduduk laki-laki, termasuk para remaja. Bahkan, ada yang baru berusia 11 dan 12 tahun. Beberapa orang berhasil melarikan diri ke hutan, walaupun terluka berat kena tembakan. Peristiwa inilah yang melatarbelakangi gugatan tersebut.(lec/irw)
|