JAKARTA (BeritaHUKUM.com) – Meski mendapat penolakan dari sebagian anggota Badan Anggaran (Banggar) DPR, pemerintah akan tetap memperjuangkan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Langkah ini harus diambil, agar makin tidak memberatkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
“Berat rasanya kalau pemerintah tidak menaikkan harga BBM. Kami perlu perjuangkan, agar APBN tahun ini tidak jebol. Sudah pasti, mau tidak mau pemerintah harus naikkan harga BBM subsidi. Mudah-mudahan kebijakan kenaikan harga BBM ini bisa diterima," kata Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Bambang Brodjonegoro di gedung DPR, Jakarta, Jumat (16/3).
Dengan kondisi saat ini, lanjut Bambang, postur APBN sudah mengalami kekurangan akibat batalnya kenaikan TDL. Atas dasar ini, pemerintah mau tidak mau harus menambah subsidi listrik agar eksistensi PT PLN tetap terjaga. Jika kondisi ini tidak ada penyesuaian terhadap kebijakan BBM subsidi, dikhawatirkan subsidi bisa melampaui dan subsidi minyak akan meledak.
Menurut dia, dengan kenaikan harga BBM subsidi ini, defisit dalam APBN masih bisa dijaga pada angka yiga persen. Jika defisit melampaui tiga persen, pemerintah harus menambah pendapatan negara dengan menerbitkan obligasi. “Selain itu, jika harga BBM tidak naik, defisit BBM bisa melampaui di atas tiga persen atau sekitar 3,2 persen,” jelas Bambang.
Dalam kesempatan terpisah, Direktur Lembaga Riset Perekonomian Independen EC-Think, Iman Sugema mengatakan, konversi BBM ke Bahan Bakar Gas (BBG) untuk transportasi akan mengalami kesulitan. Hal ini diperkirakan berupa, pemilik kendaraan bermotor harus mengubah sistem pembakaran dengan mengganti sejumlah peralatan mesin kendaraan.
“Harus ada converter kit, tangki bensin diubah menjadi tabung dan sistem karburator pada kendaraan harus di modifikasi untuk menyesuaikan bahan bakar gas. Hal ini juga memerlukan biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk mengubah sistem pembakaran kendaraan," jelas dia.
Iman menambahkan, kondisi ini sudah pasti berbeda pada saat konversi minyak tanah ke gas, karena pemerintah cukup memberikan kompor, tabung gas dan regulator. Jadi lebih praktis karena kompor minyak yang lama cukup dibuang saja. Sedangkan sepeda motor dan mobil sulit untuk diubah sistem pembakarannya menjadi sistem pembakaran dengan bahan bakar gas, sehingga harus memodifikasi kendaraan bermotor.
Indonesia menghasilkan minyak bumi sebesar 334.888 barel, tapi konsumsi dalam negeri mencapai 596.330 barel. “Minyak tanah sudah tidak disubsidi lagi. Ini mencerminkan keberhasilan konversi minyak tanah ke gas. Tapi akan menimbulkan kesulitan, saat bicara konversi BBM ke BBG di sektor transportasi,” tandasnya.(inc/ind)
|