JAKARTA, Berita HUKUM - Kasus dugaan perusakan kawasan hutan yang menimpa tiga orang petani dan peladang di Kecamatan Kemuning, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau merupakan kasus hukum konkret, bukan pelanggaran norma konstitusi. Hal tersebut disampaikan Rasio Ridho Sani selaku Direktur Jenderal Penegakan Hukum, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan saat menyampaikan keterangan Pemerintah terhadap perkara No. 139/PUU-XIII/2015 di Ruang Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi, Rabu (23/3).
Keterangan tersebut disampaikan Ridho terkait permohonan perkara pengujian Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU P3H) yang dimohonkan Edi Gunawan Sirait, Bejo, dan Bharum Purba. Ketiganya menggugat ketentuan dalam Pasal 1 angka 2 dan angka 6, Pasal 82 ayat (2), Pasal 92 ayat (1), serta Pasal 93 ayat (1) dan (2) UU P3H karena dianggap telah mengkriminalisasi Pemohon selaku petani dan peladang di kawasan hutan yang telah mereka tempati turun-temurun.
Menanggapi hal itu, di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin langsung oleh Ketua MK Arief Hidayat, Ridho menyampaikan bahwa ketiga Pemohon perkara tersebut telah keliru dalam memahami kasus yang menjerat mereka. Sebab, Pemerintah melihat pada dasarnya, kasus dimaksud terjadi akibat implementasi norma dalam UU P3H. Dengan demikian, Pemerintah menyarankan seharusnya para Pemohon melakukan upaya lain ke pengadilan negeri atau pengadilan tata usaha, bukan ke MK.
Selain itu, Pemerintah menganggap legal standing yang dipakai Pemohon tidaklah benar. Sebab, Pemerintah menemui bahwa para Pemohon bukanlah masyarakat yang secara turun-menurun tinggal di Desa Lubuk Besar, Desa Kemuning Muda, Desa Tuk Jimun, Desa Kota Baru Reteh, dan Desa Kayu Raja, Kecamatan Kemuning, dan Kecamatan Keritang, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau. Pemerintah memastikan bahwa Pemohon justru merupakan warga pendatang dari daerah lain.
"Berdasarkan hal tersebut, Pemerintah berpendapat, Para Pemohon dalam permohonan ini tidak memenuhi kualifikasi sebagai pihak yang memiliki kedudukan hukum atau pun legal standing, sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011. Oleh karena itu, menurut Pemerintah adalah tidak tepat jika Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi secara bijaksana menyatakan permohonan Para Pemohon tidak dapat diterima," ujar Ridho.
Sementara itu, terhadap pokok permohonan Pemohon, Pemerintah menanggapi bahwa ketentuan pasal-pasal a quo yang digugat Pemohon memang pada intinya mengandung norma-norma larangan. Apabila norma dalam pasal a quo dilanggar, maka akan timbul konsekuensi sanksi pidana.
Pasal a quo antara lain memberi ancaman atas tindakan penebangan pohon dalam kawasan hutan yang tidak sesuai dengan izin pemanfaatan hutan dan tanpa izin pejabat yang berwenang. Menurut Pemerintah, terbukti kemudian bahwa area yang diklaim Pemohon telah ditetapkan oleh Pemerintah sebagai kawasan hutan berdasarkan beberapa surat keputusan.
Bukan Kriminalisasi
Adanya ancaman pidana pada pasal-pasal yang digugat Pemohon, menurut Pemerintah. bukan sebagai bentuk kriminalisasi. Justru, pasal-pasal dimaksud bertujuan untuk menjaga kelestarian hutan. Apabila tidak dicantumkan atau tidak ada norma larangan tersebut, Pemerintah khawatir kelestarian hutan terancam akibat setiap orang yang bertempat tinggal dalam dan/atau di sekitar kawasan hutan dalam hutan dapat dengan bebas menebang pohon tanpa izin.
Oleh karena itu, Pemerintah justru menilai proses pidana oleh Polda Riau dalam periode tahun 2014 sampai dengan 2015 sebagai bentuk penerapan pasal-pasal a quo, merupakan tindakan yang sudah tepat dan benar serta tidak berlaku surut atau reproaktif.
Segala norma yang berisi ancaman pidana dalam pasal a quo juga dipastikan oleh Pemerintah sudah sejalan dengan amanat Konstitusi. Pada intinya, norma dalam pasal a quo merupakan salah satu kebijakan untuk mencegah dan memberantas perusakan hutan.
"Berdasarkan penjelasan dan argumentasi tersebut di atas, Pemerintah memohon kepada Yang Mulia, Ketua/Majelis Hakim Konstitusi Republik Indonesia dapat memberikan putusan sebagai berikut. Satu, menyatakan Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum atau pun legal standing. Dua,menolak permohonan pengujian Pemohon seluruhnya atau setidak-tidaknya menyatakan pengujian Pemohon tidak dapat diterima," tegas Ridho membacakan petitum Pemerintah.
Hukum Administrasi
Usai mendengarkan keterangan Pemerintah, Arief Hidayat melontarkan beberapa pertanyaan mendasar seputar pembentukan UU P3H. Sebelum melontarkan pertanyaan, Arief menjelaskan bahwa selain melalui pendekatan hukum pidana, suatu undang-undang dapat juga disusun dengan menggunakan pendekatan hukum administrasi. Menurut Arief, justru dengan pendekatan hukum administrasi, upaya pelestarian hutan dapat dilakukan lewat bentuk pencegahan dibandingkan penindakan.
"Karena pencegahan yang dilakukan oleh mekanisme hukum pidana itu sudah terjadi, baru dia dikenakan sanksi. Apakah menggunakan mekanisme hukum administrasi itu juga sudah dipikirkan pada waktu pembentukan undang-undang ini dan bagaimana proses pembentukannya dan apakah sudah juga diadopsi?" tanya Arief.
Lebih lanjut, Arief menjelaskan bahwa pendekatan hukum administrasi sudah diterapkan di negara-negara lain yang sudah lebih maju upaya pelestarian lingkungannya. Menurutnya, hukum administrasi lebih berdaya guna dibanding mekanisme hukum pidana sebab memberikan pemahaman yang sifatnya lebih komprehensif kepada masyarakat sekaligus memberikan kesadaran hukum kepada masyarakat yang lebih dibanding hanya sekadar ancaman dalam mekanisme hukum pidana.
Arief mempersilakan Pemerintah untuk memberi jawaban atas pertanyaannya pada sidang selanjutnya yang diagendakan pada Selasa, 19 April tahun 2016, pukul 11.00 WIB.(YustiNurulAgustin/lul/mk/bh/sya) |