JAKARTA (BeritaHUKUM.com) – Pihak terdakwa perkara tewasnya nasabah Citibank Irzen Octa menolak dakwaan penuntut umum. Mereka merasa yakin bahwa kematian korban itu akibat sakit stroke. Selain itu berkas dakwaan tersebut dituding sarat dengan rekayasa.
Demikian nota keberatan (eksepsi) lima terdakwa yang disampaikan kuasa hukumnya, Luthfi Hakim dalam sidang kasus tersebut yang berlangsung di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Senin (31/10). Para terdakwa tersebut, yakni Arief Lukman, Hendry Waslinton, Donald Harris Bakar, Boy Yanto Tambunan, dan Humisar Silalahi.
Sebelumnya, JPU Ery Yudianto mendakwa secara berlapis para terdakwa tersebut. Mereka pun terancam hukuman penjara 12 tahun. Di hadapan majelis hakim yang diketuai Subyantoro itu, para debt collector itu disangkakan telah merampas paksa kemerdekaan Irzen Okta yang mendatangi kantor Citibank Gedung Menara Jamsostek pada 29 Maret 2011. Kedatangan korban untuk menyelesaikan tanggihan kartu kredit yang melonjak drastis itu.
Dalam persidangan lanjutan ini, kuasa hukum terdakwa, Luthfi Hakim menyebutkan bahwa berdasarkan hasil visum dapat diketahui sebab pasti kematian Irzen Octa akibat penyakit pecahnya pembuluh darah di bagian bawah batang otak (stroke) yang menimbulkan pendarahan dalam bilik otak hingga menyumbat saluran cairan otak dan menekan batang otak hingga terjadi mati lemas (asfiksia).
Menurut Lutfi, laporan tersebut berdasarkan pemeriksaan bedah mayat yang dilakukan dr Ade Firmansyah Sugiharto yang bertugas di RS Cipto Manungkusumo pada 29 Maret 2011, beberapa saat setelah kematian Irzen Octa. Namun, pihaknya menyesalkan masuknya otopsi Dr. Abdul Mun'im yang dianggapnya ilegal, karena didasari permintaan dari pihak pengacara keluarga Irzen Octa, yakni OC Kaligis. Bukan atas permintaan penyidik kepolisian.
Hasil otopsi ilegal itu menyantumkan kata-kata projustisia itu, sudah tidak orisinil lagi, karena rentang waktu antara kematian Irzen Okta dan saat otopsi berselang 22 hari. Otopsi ulang juga bukan merupakan bagian dari sistem peradilan pidana yang berlaku di Indonesia atau bukan projustisia.
Penasehat hukum juga melihat adanya rekayasa dalam penanganan kasus. Tim penyidik merekayasa saksi-saksi, sehingga ada saksi penting yang tidak ada dalam berkas perkara. Ada saksi penting yang tidak dimasukan dalam BAP. Selain itu, ada saksi bernama Sugeng yang di-BAP hingga dua kali, namun tidak ada dalam berkas perkara serta daftar saksi.(tnc/bie)
|