TUBAN, Berita HUKUM - Kerusakan hutan kembali marak terjadi. Kerusakan kawasan hutan lindung di wilayah Kabupaten Tuban, Jatim, diperkirakan mencapai 80%. Sebagian besar lahan hutan di wilayah ini difungsikan sebagai hutan produksi.
Kerusakkan alam di kabupaten ini juga diperparah dengan parahnya aktivitas pertambangan. Kondisi tersebut mengakibatkan sejumlah wilayah berpotensi rawan banjir dan tanah longsor.
Kerusakkan hutan yang cukup parah terjadi di hampir seluruh hutan. Antara lain, hutan seputar Kecamatan Semanding yang berada di selatan dan timur kecamatan setempat.
Selain itu, kerusakkan hutan juga terjadi di seputar kawasan Kecamata Grabagan, Parengan, Soko, Plumpang, Palang, Senori, Merakurak, Kerek, Montong, Jatirogo serta Kecamatan Kenduruan.
Kondisi tersebut, mengakibatkan sejumlah wilayah kerap terjadi bencana banjir bandang.
Ketua Bidang Ilmiah dan Konsevasi Himpunan Kegiatan Speleologi Indonesia (Hikespi) di Tuban Edy Toyibi mengungkapkan, secara umum kerusakkan hutan di wilayah itu tergolong cukup parah. Namun, rusaknya hutan dan kawasan lindung terparah berlangsung dalam 2-5 tahun terakhir.
“Kerusakkannya telah mencapai 80%,” terangnya, Senin (25/3).
Menurut Edy, pemicunya adalah karena sebagaian besar kawasan hutan difungsikan sebagai hutan produksi. Kondisi tersebut diperparah dengan tidak adanya tumbuhan vigetasi di bawah tegakkan. Sebab, rumput dan semak yang ada di bawah tegakkan sengaja di musnahkan.
“Di antaranya dibuka jadi lahan pertanian,” kata Edy yang juga Direktur Cagar—Lembaga Swadaya Masyarakat yang konsen advokasi lingkungan ini.
Ia mengungkapkan, kerusaakkan alam akibat habisnya hutan dan rusaknya kawasan lindung juga diperparah dengan makin meluasnya akitivitas pertambangan, baik oleh perorangan maupun korporasi.
Bahkan, ia mensinyalir kerusakkan alam akibat pertambangan sudah mencapai 70%. Pertambangan ini terjadi dalam skala besar dan kecil yang tersebar hampir 11 kecamatan dengan model terbuka serta tertutup.
Dengan kondisi tersebut, lanjutnya, sejumlah wilayah sekitar hutan dan kawasan lindung menjadi rawan serta berpotensi terjadi bencana alam. Di antaranya, bencana banjir bandang dan tanah longsor.
“Kita minta Perhutani ikut menjaga kelestarian air dengan mengatur pola tanam,” desaknya.
Selain itu, seperti dikutip dari tribunnews.com, Edy Toyibi mengungkapkan banjir bandang terjadi juga karena banyak hutan yang telah rusak.
"Hutan itu rusak karena pembalakan liar, pengalih fungsi hutan sebagai ladang pertambangan, perkebunan serta pembangunan rumah," kata Edy lewat selulernya, Senin (08/04) siang.
Edy mengatakan kerusakan hutan juga berlangsung diberbagai wilayah hutan lindung di Tuban, yaitu di Kecamatan Grabagan, Parengan, Soko, Plumpang, Palang, Senori, Merakurak, Kerek, Montong, Jatirogo serta Kecamatan Kenduruan.
Kerusakan hutan tersebut, kata Edy, membuat vegetasi alam berubah, berbagai jenis tanaman langka, jumlah populasi hewan liar berkurang dan tanah yang semula mampu menahan tekanan air kini sudah tak mampu lagi.
"Banjir bandang ini adalah indikator awal terjadinya kerusakan lingkungan di sini," imbuh Edy.
Dugaan Edy ini bukan tanpa alasan, sebab banjir bandang saat ini adalah yang terbesar dalam 10 tahun terakhir ini. Selain itu ia juga telah mengadakan sejumlah penelitian dan pengamatan tentang hutan di Tuban.
"Pemicunya kerusakan ini karena sebagaian besar kawasan hutan difungsikan sebagai hutan produksi," kata Edy.
Menurutnya, kondisi ini semakin diperparah dengan tidak adanya tumbuhan vegetasi yang ditegakkan atau ditumbuhkan di bawah pegunungan. Kata Edy, rumput dan semak di bawah pegunungna kini banyak dimusnahkan diganti dengan areal pertanian ataupun perumahan.
Ia mengungkapkan, kerusaakkan alam akibat habisnya hutan dan rusaknya kawasan lindung juga diperparah dengan makin meluasnya akitivitas pertambangan, baik oleh perorangan maupun korporasi.
Ia berharap pemerintah bisa belajar dari kejadian ini dan bisa lebih memperhatikan kondisi hutan di Tuban. Tak hanya itu saja.
Ia juga berharap jika pemerintah bisa membuat aturan terkait peruntukan kawasan lingkungan dengan mendetail, serta meminta agar Perhutani ikut menjaga kelestarian air dengan mengatur pola tanam.
"Kami berharap kejadian ini tak terulang lagi di waktu depan," katanya.(dbs/bhc/opn) |