JAKARTA, Berita HUKUM - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perbaikan permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) pada Senin (2/12) lalu. Majelis Hakim terdiri atas Wakil Ketua MK Aswanto (Ketua), Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dan Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul (masing-masing sebagai Anggota). Sidang tersebut dengan agenda mendengar perbaikan permohonan.
Pemohon Perkara Nomor 70/PUU-XVII/2019, Fathul Wahid dan Abdul Jamil diwakili kuasa hukum Anang Zubaidy menyampaikan sejumlah perbaikan di antaranya memperbaiki kedudukan hukum. "Beberapa perbaikan yang kemarin disarankan kepada kami sudah dilakukan, misalnya di bagian legal standing sudah diperbaiki. Kemudian di bagian kedudukan hukum Pemohon II, kami sempurnakan juga dengan menyebut bahwa Pemohon II adalah dosen sekaligus dekan sebagai penyelenggara catur dharma. Dalam hal ini adalah pengabdian masyarakat dan ini kami juga sertakan alat bukti berupa statuta UII dan juga AD/ART," ujar Anang.
Sementara itu Pemohon Perkara Nomor 71/PUU-XVII/2019, Zico Leonard Djagardo Simanjuntak bersama beberapa Pemohon lainnya, antara lain Marco Hardianto menegaskan permohonan sebelumnya. "Sesuai dengan masukan Mahkamah, kami menyampaikan permohonan yang sudah direvisi. Pertama, terkait dengan kewenangan Mahkamah Konstitusi dianggap telah dibacakan. Kemudian terkait dengan legal standing, Pemohon I adalah warga negara Indonesia yang bekerja sebagai tenaga ahli anggota DPRD DKI Jakarta. Sebagai tenaga ahli anggota DPRD DKI Jakarta, Pemohon berusaha menjauhi perilaku koruptif di tempat kerja. Semua upaya Pemohon ini menjadi sia-sia dan terhambat karena sistem hukum Indonesia sendiri menciptakan pelemahan terhadap pemberantasan korupsi melalui undang-undang dalam perkara a quo," papar Marco.
Kemudian terhadap Pemohon II, ungkap Marco, adalah perorangan warga negara Indonesia yang juga merupakan Mahasiswa Fakultas Hukum Unversitas Indonesia. Permohonan a quo diajukan oleh Pemohon karena Fakultas Hukum Universitas Indonesia memiliki banyak mahasiswa dan alumni yang akan dan telah berkiprah, serta mengabdi untuk membangun dan memajukan negeri di seluruh aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Termasuk dalam usaha penegakan hukum yang adil, bermartabat, bersih, dan bebas dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme.
"Dengan berlakunya, pasal-pasal yang dimohonkan pengujiannya oleh para Pemohon, sebagaimana telah disebutkan di atas akan mempersulit KPK dalam melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi dan menegakkan hukum yang adil," tegas Marco.
Sedangkan Pemohon Perkara Nomor 73/PUU-XVII/2019, Ricki Martin Sidauruk dan Gregorianus Agung. Perbaikan yang dilakukan Pemohon, pertama perbaikan pada bagian legal standing di halaman 5. "Kami memperjelas hak konstitusional kami yang dilindungi oleh Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Bahwa hak konstitusional para Pemohon yang dilindungi oleh Pasal 28C Ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 termasuk upaya-upaya para Pemohon untuk mewujudkan kesejahteraan di negaranya sendiri dengan cara ikut serta memerangi kejahatan korupsi, utamanya dalam hal pemberantasan korupsi melalui tugas penyelidikan. Mengingat peran penyelidik KPK sangatlah penting dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Karena tugas utama seorang penyelidik adalah mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan," ujar Ricky.
Kemudian pada halaman 6 permohonan, Pemohon juga memperjelas frasa "dapat" yang termaktub dalam pasal a quo. "Bahwa frasa "dapat" sebagaimana termaktub dalam pasal a quo memang bukanlah sesuatu yang yang diharuskan atau diwajibkan. Namun, lebih cenderung bermakna opsional," kata Ricky.
Sebelumnya, tiga permohonan tersebut, yakni perkara Nomor 70/PUU-XVII/2019 yang diajukan oleh civitas akademika Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, di antaranya Fathul Wahid (Rektor UII), Abdul Jamil (Dekan Fakultas Hukum atau FH UII), Eko Riyadi (Direktur Pusat Studi Hak Asasi Manusia atau PUSHAM UII), Ari Wibowo (Direktur Pusat Studi Kejahatan Ekonomi (PSKE) FH UII), dan Mahrus Ali (Dosen FH UII). Kemudian, perkara Nomor 71/PUU-XVII/2019 diajukan oleh perorangan bernama Zico Leonard Djagardo Simanjuntak yang berprofesi sebagai mahasiswa sekaligus Tenaga Ahli Anggota DPRD DKI Jakarta. Permohonan lainnya diajukan oleh Ricki Martin Sidauruk dan Gregorius Agung, yang juga merupakan mahasiswa sebagai Pemohon perkara Nomor 73/PUU-XVII/2019.
Ketiganya mempersoalkan mengenai UU KPK yang dinilai cacat prosedur dan Para pemohon menganggap UU KPK dengan beberapa ketentuan di dalamnya, potensial mengganggu agenda pemberantasan korupsi. Selanjutnya, para Pemohon juga mengungkapkan bahwa pembentukan UU KPK tidak termasuk prioritas program legislasi nasional atau prolegnas DPR. Pembahasan mengenainya pada tahun ini dinilai para Pemohon sebagai sesuatu yang sangat dipaksakan. Untuk itu, Pemohon meminta pembatalan keberlakuan UU KPK.(NanoTresnaArfana/LA/MK/bh/sya) |