JAKARTA, Berita HUKUM - Sidang lanjutan pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis (17/10) siang. Agenda sidang perkara Nomor 37/PUU-XVII/2019 adalah mendengarkan keterangan Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), dan mendengarkan keterangan ahli yang dihadirkan oleh MK.
Komisioner KPU, Hasyim Asy'ari menegaskan KPU dalam menyelenggarakan pemilu berpedoman pada prinsip-prinsip penyelenggaraan pemilu yang demokratis dan adil dengan menerapkan manajemen tata kelola pemilu yang baik, serta tidak bertentangan dengan norma pokok yang telah diatur dalam UU Pemilu.
Dikatakan Hasyim, pasal-pasal dalam UU Pemilu yang diujikan Pemohon, yakni Pasal 167 ayat (3) UU Pemilu mengatur secara yuridis bahwa pemungutan suara dilaksanakan secara serentak pada hari libur atau hari yang diliburkan secara nasional. Kemudian Pasal 347 ayat (1) UU Pemilu mengatur bahwa pemungutan suara pemilu diselenggarakan secara serentak.
Pengertian mengenai pemilu, terang Hasyim, dapat dilihat dalam pengaturan Pasal 1 angka 1 UU Pemilu yang mengatur bahwa pemilihan umum yang selanjutnya disebut pemilu adalah sarana kedaulatan rakyat untuk memilih anggota DPR, anggota DPD, presiden dan wakil presiden, dan untuk memilih anggota DPRD yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Kemudian kata 'serentak' dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia mengandung arti bersama-sama (tentang gerakan dan waktunya). Kata serentak juga sering digunakan untuk menggambarkan suatu kerja yang dilaksanakan secara bersama-sama dalam waktu yang sama. "Berdasarkan pengertian dan pengaturan konsep dimaksud dapat dipahami bahwa pengertian pemungutan suara pemilu dilaksanakan secara serentak adalah pemungutan suara Pemilu Tahun 2019 dilaksanakan secara bersama-sama atau hari, tanggal, dan waktunya bersamaan atau serentak," kata Hasyim kepada Majelis Pleno Hakim Konstitusi yang dipimpin Ketua MK Anwar Usman.
Evaluasi Pemilu Serentak 2019
Menurut Hasyim, Pemilu Tahun 2019 terselenggara dengan aman, tertib, lancar, sesuai dengan jadwal, tahapan, dan program yang telah disusun. Terkait dengan desain dan sistem pemilu serentak yang telah dilaksanakan KPU selaku pelaksana sepenuhnya akan menjalankan apa yang menjadi amanat undang-undang. Kendati demikian KPU menganggap perlu dilakukan evaluasi terhadap pelaksanaan Pemilu 2019. "Meskipun penyelenggaraan Pemilu Tahun 2019 dapat dikatakan berjalan aman, tertib, dan lancar, tetapi tetap perlu melakukan evaluasi dan pembenahan di beberapa hal. Evaluasi tersebut guna memperbaiki hal yang kurang dalam penyelenggaraan Pemilu Tahun 2019 yang dapat dijadikan bahan masukan untuk pelaksanaan pemilu selanjutnya," jelas Hasyim.
KPU berpandangan, evaluasi perbaikan tersebut terutama bertumpu pada hal yang bersifat teknis atau tata kelola pemilu. Aspek teknis atau tata kelola pemilu tersebut penting untuk dievaluasi, terutama pada tahapan penghitungan dan rekapitulasi. Penghitungan dan rekapitulasi hasil penghitungan suara merupakan aspek teknis yang memiliki beban yang cukup berat. Selain karena banyaknya jenis formulir yang digunakan, juga limitasi atau batas waktu yang tersedia bagi penyelenggara untuk melakukan penghitungan maupun rekapitulasi hasil perolehan suara.
"Diharapkan dengan adanya peristiwa yang terjadi sepanjang proses penyelenggaraan Pemilu Tahun 2019, dapat menjadi bahan untuk mendesain kembali penyelenggaraan pemilu ke depan, sehingga hal-hal yang dirasa masih kurang baik dapat dibenahi pada penyelenggaraan pemilu selanjutnya," pungkas Hasyim.
Sementara itu Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Abhan menyampaikan bahwa perlu dilakukan penelitian mengenai dampak pelaksanaan pemungutan suara secara serentak terhadap proses pemilu, penyelenggara pemilu, hingga pemangku kepentingan lainnya, seperti pemantau pemilu maupun masyarakat sebagai pemilih. Selain itu perlu dilakukan kerja sama antara penyelenggara pemilu dan kementerian atau lembaga terkait untuk membantu menyediakan sarana dan prasarana, seperti jalur transportasi atau alat transportasi yang dapat mempermudah akses distribusi logistik pemilu ke daerah-daerah yang sulit dijangkau.
Selain itu menurut Abhan, perlunya persiapan yang lebih baik dalam pelaksanaan pemilu, termasuk peningkatan kapasitas pengetahuan kepemiluan kepada penyelenggara pemilu dalam pelaksanaan pemilu sehingga masyarakat mau bergabung dengan menjadi jajaran penyelenggara pemilu khususnya pada tingkatan kecamatan hingga tingkat TPS, termasuk pendidikan politik kepada masyarakat yang berada di daerah yang sulit dijangkau. Hal ini diharapkan agar partisipasi masyarakat untuk menjadi jajaran penyelenggara pemilu di tingkat kecamatan, kelurahan, desa, TPS meningkat.
"Berikutnya, perlunya perbaikan sistem dalam teknologi informasi yang telah ada saat ini. Tidak hanya dalam proses pendaftaran dan/atau pencalonan, namun juga hingga pemungutan suara berbasis teknologi untuk mempermudah kerja penyelenggara pemilu dalam pelaksanaan maupun pengawasan pemilu serentak," urai Abhan.
Sedangkan Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), Harjono menerangkan bahwa kewenangan DKPP yaitu menegakkan kode etik penyelenggara pemilu. Penegakan etik yang dilakukan oleh DKPP itu meliputi jajaran KPU dari pusat sampai ke bawah, begitu pula dari Bawaslu pusat ke bawah.
"Falsafah yang kita pegang dalam menegakkan kode etik itu intinya untuk menjaga kepercayaan kepada penyelenggara pemilu. Kita tidak bisa bayangkan bagaimana sebuah proses pemilu itu kalau penyelenggaranya tidak dipercaya lagi. Memang DKPP diberikan kewenangan-kewenangan untuk memberikan sanksi, bahkan sanksi yang paling berat adalah pemberhentian, dan bisa kami laporkan pada tahun 2019 ini ada juga yang kemudian terpaksa harus diberhentikan dari jabatan itu," papar Harjono.
Makna "Serentak"
MK juga menghadirkan Djajadi Hanan selaku ahli. Djajadi menyampaikan, Pemilu 2019 termasuk dalam kategori pemilu serentak yang dibarengi dengan sebagian dari pemilu daerah, yakni pemilu legislatif, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota. Apabila MK menganggap bahwa yang konstitusional adalah pemilu serentak, maka ada beberapa hal yang perlu ditegaskan. Pertama, pemaknaan serentak dari sudut pandang ilmu politik dan sistem pemerintahanan presidensial adalah pelaksanaan pemilu legislatif dan eksekutif dalam waktu yang bersamaan.
Kedua, muncul pertanyaan, apakah menyertakan pemilihan anggota legislatif daerah tanpa menyertakan pemilihan eksekutif daerah secara serentak itu tidak konsisten dengan makna pemilu serentak? Jawabannya, itu tidak masalah. Ketiga, sebaliknya bila hanya menyertakan pemilu serentak nasional ditambah pemilu serentak untuk seluruh eksekutif daerah, juga tidak ada masalah. Keempat, bila masih ada pilihan lain yang menyertai pemilu serentak dalam pemaknaan seperti di atas, pilihan itu juga tidak melanggar prinsip pemilu serentak tersebut. "Pilihan itu misalnya adalah membagi pemilu menjadi dua, pemilu nasional dan pemilu daerah atau lokal atau pilihan lain," ungkap Djajadi.
Dengan kata lain, ujar Djajadi, ada banyak pilihan untuk menyelenggarakan pemilu serentak secara keseluruhan, asalkan pokok-pokok soalnya adalah pelaksanaan pemilu presiden dan legislatif nasional diselenggarakan secara serentak.
Sistem Presidensial Bernuansa Parlementer
MK juga menghadirkan Syamsuddin Haris yang mengatakan Putusan MK Nomor 14 Tahun 2013 tentang Skema Pemilu Serentak 5 Kotak sebenarnya telah menyertakan konteks penguatan sistem presidensial. Tetapi, entah disadari atau tidak, putusan MK lainnya, khususnya terkait dengan syarat ambang batas pencalonan presiden yang didasarkan pada hasil pemilu DPR sebagaimana masih dianut oleh UU Pemilu justru tetap dipertahankan oleh Mahkamah. "Padahal syarat ambang batas tersebut jelas-jelas merupakan anomali dengan dalil sistem presidensial," kata Syamsuddin.
Syamsuddin menuturkan, prinsip keterpisahakan kekuasaan antara lembaga parlemen dan lembaga presiden meniscayakan tegaknya sistem check and balances di antara kedua institusi tersebut, yaitu lembaga parlemen dan presiden. Sebagaimana konsekuensi logisnya, semestinya tidak dibuka ruang bagi parlemen dan presiden untuk saling menyandera satu sama lain.
"Persyaratan ambang batas pencalonan presiden ini tak hanya menjadi penjara bagi kalangan parpol, melainkan juga merefleksikan praktik demokrasi presidensial bernuansa parlementer," tegas Syamsuddin.
Selain itu, format pemilihan presiden dibiarkan didikte oleh hasil pileg dan justru mendistorsikan praktik presidensial itu sendiri. Sesuai skema sistem presidensial yang dianut oleh konstitusi kita, lembaga presiden dan DPR adalah dua institusi terpisah yang memiliki basis legitimasi yang berbeda dan tidak saling tergantung satu sama lain," urai Syamsuddin.
Menurut Syamsuddin, tidak seharusnya pencalonan presiden ditentukan oleh formasi politik hasil pemilu parlemen. "Anomali lainnya adalah realitas bahwa hasil pemilu legislatif menjadi dasar bagi partai politik untuk berkoalisi, baik dalam pengusungan pasangan calon maupun dalam pembentukan pemerintahan hasil pemilu," tandas Syamsuddin.
Riwayat Permohonan
Sebagaimana diketahui, permohonan perkara Nomor 37/PUU-XVII/2019 ini dimohonkan oleh tujuh Pemohon yang berasal dari berbagai profesi dan badan hukum. Para Pemohon, di antaranya Arjuna Pemantau Pemilu, M. Faesal Zuhri, dan Robnaldo Heinrich Herman.
Para Pemohon mengujikan kata "serentak" dalam Pasal 167 ayat (3) dan Pasal 347 ayat (1) UU Pemilu. Pasal 167 ayat (3) UU Pemilu menyatakan,"Pemungutan suara dilaksanakan secara serentak pada hari libur atau hari yang diliburkan secara nasional." Pasal 347 ayat (1)UU Pemilu menyatakan, "Pemungutan Suara Pemilu diselenggarakan secara serentak."
Para Pemohon melalui kuasa hukum Viktor S. Tandiasa dan Yohanes Mahatma Pambudianto menyatakan pasal-pasal yang diujikan tersebut bertentangan dengan Pasal 28G Ayat (1) dan Pasal 28I Ayat (4) UUD 1945. Yohanes saat menyampaikan alasan permohonan menyebutkan bahwa ketentuan Pasal 22E Ayat (1) UUD 1945 yang mengatur perihal penyelenggaraan pemilu seharusnya membawa kemaslahatan bagi rakyat dan tidak boleh merugikan kepentingan rakyat khususnya menyangkut nyawa manusia.
Para Pemohon menilai Pemilu Serentak 2019 sangat berat dan memiliki tekanan yang cukup tinggi karena adanya penggabungan penyelenggaraan Pemilu Presiden/Wakil Presiden dengan Pemilu Anggota Legislatif. Bahkan, Medical Emergency Rescue Committee (MER-C) mencatat 544 orang petugas penyelenggara pemilu meninggal dunia dan 3.788 orang jatuh sakit.(NanoTresnaArfana/NRA/MK/bh/sya) |