JAKARTA, Berita HUKUM - Kabar mengejutkan dengan rencana tutupnya atau 'gulung tikar' dua (2) perusahaan raksasa elektronik dari Jepang yang beroperasi di Indonesia yakni perusahaan Panasonic dan Toshiba.
Kondisi ini tentunya akan berimplikasi terhadap ribuan buruh yang akan terkena ancaman Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dan ini juga merupakan sinyalemen negatif Investasi di indonesia saat kondisi pelemahan ekonomi Indonesia, karena terPHK ribuan buruh di 6 perusahaan di Bekasi, Tangerang, Batam dan lainnya semenjak kurun waktu Januari - Februari tahun 2016. Juga adanya indikasi gagalnya paket kebijakan ekonomi Indonesia pimpinan Presiden Jokowi yang beberapa bulan lalu dikumandangkan.
"Sinyalemen negatif terkait dengan kegagalan Kebijakan Ekonomi yang dikumandangkan tersebut, Kami (buruh/pekerja) akan melangsungkan aksi unjuk rasa besar pada 6 Februari 2016 nanti. 'kok pemerintah diam seribu bahasa?'," tegas Said Iqbal, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) saat acara jumpa pers di hadapan para wartawan di kawasan Cikini, Menteng. Jakarta Pusat pada, Selasa (2/2).
"Akan turun sekitar 20 ribu buruh aksi unjuk rasa ke MA dan Istana Negara nanti. Selain itu akan ada aksi di 12 provinsi. Sudah ada gerakan aksi demonstrasi saat ini di beberapa daerah," ungkap Said Iqbal, yang dikenal sangat aktif berjuang untuk kesejahteraan para buruh di Indonesia.
Menurut Said Iqbal, aksi ini merupakan reaksi aksi buruh terhadap Pemerintah Indonesia, dimana wacana yang mereka (serikat buruh) akan utarakan menyangkut beberapa problematika yang dialami, imbasnya dalam kehidupan sehari-hari, yakni:
Pertama (1), STOP PHK
Kedua (2), Cabut PP No. 8 tahun 2015
Ketiga (3), Kembalikan hak berunding serikat buruh dengan Pemerintah.
Said Iqbal juga sembari mengulas bahwa, rencana demonstrasi ini dilindungi berdasarkan konvensi ILO nomor 7, konvensi ILO nomor 8, bahkan UUD 45, dan Hak Berunding (UU 21 Tahun 2000).
Sementara itu, dengan lahirnya PP nomor 78 / 2015 ini menurutnya merupakan hasil dari tekanan Bank Dunia sebagai satu syarat guna membantu ekonomi Indonesia pada awal 2015. Malahan, ia juga mengatakan, "PP tersebut sarat akan dugaan korupsi dari pihak Apindo, karena anggota dewan pengupahan waktu itu mendapatkan tawaran 500 juta rupiah per kepala, dan kami menduga bahwa pemerintah dan Apindo akan mendapatkan sesuatu yang lebih besar nilainya," tuding Miswan, sebagai anggota dewan pengupahan nasional (Depanas), yang juga ikut hadir saat acara jumpa pers.
"PP 78 ini melanggar ketentuan regulasi di negara kita, dimana melanggar banyak Undang-undang, yaitu UUD 45, hak berunding (UU 21 Tahun 2000), meniadakan Hak Hidup Layak, dan PP 78 ini juga meniadakan peran dari pemerintah daerah yang memiliki otoritas tersebut," ungkap Miswan, karena semua upah minimum ditentukan oleh pemerintah melalui data dari BPS.
Kemudian selanjutnya, Gofur selaku perwakilan Serikat Pekerja Antara (Media) menguraikan bahwa, "Selain di bidang manufaktur, kejadian ini, hal ini dapat juga terjadi imbasnya nanti di bagian jasa dan media. Upah murah memang sudah harus kita 'lawan'. Di media sudah banyak sekali, UMR pun tidak sampai, status kerja gak jelas (Kontributor terus..), konfergensi kapitalis media sangat tinggi," ungkapnya.
"Supaya lebih fokus, tidak hanya di manufaktur, namun juga ancaman bagi kami di sektor media," pungkasnya.(bh/mnd)
|