JAKARTA, Berita HUKUM - Mantan Hakim Konstitusi yang juga merupakan pakar hukum agraria, Achmad Sodiki menyampaikan keahliannya dalam sidang yang digelar Senin (22/12) di Ruang Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi (MK). Sodiki menyampaikan keahliannya terkait perkara Pengujian Undang-Undang (PUU) Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU P3H) serta UU Kehutanan yang dimohonkan oleh WALHI dan organisasi lingkungan hidup lainnya. Dalam paparannya selaku ahli dari Pemohon, Sodiki menegaskan bahwa pelaku perusakan hutan di wilayah kehutanan tidak bisa serta-merta dikenai sanksi pidana. Cara penyelesaian masalah dengan musrawarah harus diutamakan.
Pernyataan Sodiki tersebut terkait erat dengan bunyi Pasal 1 angka 3 UU P3H yang digugat oleh Para Pemohon. Pasal a quo berbunyi sebagai berikut.
Pasal 1
3. Perusakan hutan adalah proses, cara, atau perbuatan merusak hutan melalui kegiatan pembalakan liar, penggunaan kawasan hutan tanpa izin atau penggunaan izin yang bertentangan dengan maksud dan tujuan pemberian izin di dalam kawasan hutan yang telah ditetapkan, yang telah ditunjuk, ataupun yang sedang diproses penetapannya oleh Pemerintah
Adanya persinggunan antara kawasan hutan dengan tanah perkebunan menurut Sodiki sebelumnya sudah pernah diupayakan penyelesaiannya lewat UU No. 51 Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin. Dalam UU tersebut dinyatakan bahwa untuk menyelesaikan tanah hutan dan perkebunan haruslah diambil jalan musyawarah terlebih dulu. Jika jalan musyawarah tidak membuahkan hasil, maka menteri agraria (menteri pertanian) akan menetapkan penyelesaian dengan memperhatikan kepentingan rakyat pemakai tanah, penduduk, dan luas tanah yang bersangkutan.
Mengikuti alur pemikiran tersebut, Sodiki menilai tidak tepat pelanggaran Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 di wilayah kehutanan serta-merta diterapkan pasal pidana semata, seperti Pasal 82 ayat (1), ayat (2) sampai dengan Pasal 110 huruf b undang-undang a quo. “Seharusnya, pihak yang berwenang menangani masalah ini dengan hati-hati mempertanyakan apakah perbuatan itu mengenai pemakaian tanah hutan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 51 Tahun 1960? Jika ya, maka terlebih dahulu harus diselesaikan dengan cara musyawarah dengan mengingat dan memperhatikan kepentingan pemilik tanah hutan,” jelas Sodiki.
Penyelesaian masalah lewat cara musyawarah harus diutamakan, terlebih mengingat masyarakat hukum adat di sekitar kawasan hutan telah terbiasa mengambil kayu di dalam hutan tersebut. Dengan kearifan lokal yang dijunjung masyarakat adat, Sodiki yakin masyarakat adat tidak akan mengambil kayu dalam rangka pembalakan hutan. Sebab, masyarakat adat paham benar bahwa mereka hidup dan dihidupi dari hutan yang mereka miliki.
Sodiki memberi saran sebaiknya Pemerintah justru melakukan kerja sama dengan masyarakat hukum adat sekitar untuk mencegah aksi perusakan hutan. Peluang kerja sama tersebut dimungkinkan karena diatur dalam Pasal 58 UU P3H yang mengatur peran serta masyarakat dalam pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan.
“Dengan demikian penyelesaiannya dilakukan terlebih dahulu dengan musyawarah untuk mengetahui apakah orang tersebut melanggar adatnya sendiri ataukah tidak? Jika perbuatannya sesuai dengan hukum adat mereka sendiri, apakah pantas dituntut dengan pidana? Padahal Konstitusi kita, Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 jelas menyatakan negara mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang,” tegas Sodiki.(Yusti/mk/bhc/sya) |