JAKARTA, Berita HUKUM - Pakar Hukum Tata Negara Margarito Kamis mengatakan bahwa, pihak Polri telah menggunakan hukum diluar hukum yang ada di Indonesia, dalam mengusut kasus makar dan penghinaan pada simbol negara. Hal ini menurutnya karena tidak ada satupun aturan hukum yang ada di Indonesia bisa diterapkan pada penangkapan para aktivis-aktivis tersebut jelang Aksi Bela Islam jilid III pada, Jumat (2/12) lalu, terkait tuntutan penahanan terhadap tersangka Basuki Tjahya Purnama atau Ahok atas kasus penistaan agama Islam.
"Kita harus tanya kepada para penyidik, mereka menggunakan hukum dari mana dan hukum apa. Mungkin saja mereka gunakan hukum dari planet lain. Karena kalau menggunakan hukum yang ada di Indonesia, maka aturan penghinaan terhadap simbol negara maupun Makar tidak seperti yang dituduhkan Polisi terhadap para aktivisi tersebut," jelas Dr. Margarito Kamis di Jakarta, Senin (5/12).
Menurut Margarito, dalam UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2009 tentang BENDERA, BAHASA, DAN LAMBANG NEGARA, SERTA LAGU KEBANGSAAN tidak ada satupun pasal, ayat, huruf atau kata yang menyebut Presiden sebagai lambang negara.
"Makanya, kalau mereka yang jelas aparat penegak hukum mengatakan bahwa Jokowi sebagai Presiden adalah lambang negara, maka UU dari mana yang mereka gunakan?Yang namanya simbol negara itu yah bendera, bahasa, lambaga negara dan lagu kebangsasaan. Sementara lambang negara itu Garuda Pancasila," tegas Margarito.
Sementara untuk tuduhan 'Makar', Margarito juga heran dengan alasan maupun logika aparat penegak hukum dari Kepolisian. Dimana salahnya? jelas Margarito, orang meminta MPR bersidang untuk kembali merubah UUD bisa disebut makar.
"Kalau mau tahu yang namanya makar itu contohnya apa yang dilakukan terhadap Bung Karno. Beberapa kali orang mencoba membunuh dan mencelakakannya. Makar itu menggunakan senjata seperti bom Cikini terhadap Bung Karno, maupun bom di Jembatan di Bandung ketika Bung Karno lewat. Lah, kok orang mau datang ke DPR, kirim surat ke DPR minta ubah UUD dibilang makar," cetusnya.
Lebih jauh Margarito menegaskan bahwa, "tuduhan makar dan menghina lambang negara hanyalah bentuk kecintaan Polri yang berlebihan terhadap sosok Jokowi dan melebihi kecintaan mereka pada NKRI, maupun pada hukum yang harusnya mereka tegakkan," urainya.
"Mereka mencintai Jokowi melebihi cintanya pada NKRI, pada aturan hukum dan pada keadilan. Orang kalau memang cintanya berlebih-lebihan tindakannya suka tidak masuk akal. Atau bisa jadi karena cuaca dingin, Polisi ingin mencari suasana lain makanya mereka membuat tuduhan yang bukan-bukan," ujarnya.
Dia pun menyayangkan bahwa, citra Kepolisian akan makin terpuruk dengan tindakan Polisi ini, karena jelas terlihat betapa tidak pahamnya aparat Kepolisian terhadap aturan hukum dan terlalu ceroboh. Ini akan membutakan citra Polisi sebagai pengabdi kekuasaan dan bukan pengabdi hukum. Masyarakat akan semakin antipati pada Polisi," tandasnya.
Sementara, sebelumnya Anggota Komisi III DPR RI, Raden Muhammad Syafi'i, SH, M.Hum juga mengatakan bahwa, penangkapan para aktivis oleh Polda Metro Jaya dengan tuduhan makar sama sekali tidak memiliki landasan hukum. Dia pun meminta Kapolda Metro Jaya untuk membaca kembali pasal Makar di KUHP dan menunjukkan pasal mana yang bisa disangkutkan pada para aktivis tersebut.
"Pasal 104 KUHP itu tertulis: Makar dengan maksud untuk membunuh, atau merampas kemerdekaan, atau meniadakan kemampuan Presiden atau Wakil Presiden memerintah, diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun," ujar Anggota Komisi III, ketika dihubungi Sabtu (3/12).
Menurut pria yang kerap disapa Romo ini, tidak ada yang akan membunuh Presiden atau Wapres, sementara untuk meniadakan kemampuan Presiden atau wakil Presiden, justru dirinya melihat para aktivisi itu ingin mengingatkan Presiden akan kemampuan Presiden dan wakil Presiden untuk bertindak pada pelanggar hukum seperti Ahok. "Jadi pasal 105 jelas tidak terpenuhi unsur-unsurnya," tambahnya.
Dalam pasal 106 KUHP berbunyi, Makar dengan maksud supaya seluruh atau sebagian dari wilayah negara, diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun, menurutnya juga tidak terpenuhi. "Para aktivisi itu justru sedang mengingatkan akan keutuhan NKRI jika Ahok tidak juga dipenjarakan," jelasnya.
Untuk pasal 107 ayat (1) tertulis Makar dengan maksud untuk menggulingkan pemerintah, diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun. Sementara dalam ayat (2) Para pemimpin dan pengatur makar tersebut dalam ayat 1, diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun.
"Sekarang dimana letaknya mereka mau menggulingkan pemerintahan?. Yang mereka tuntut kan jelas agar pemerintahan menegakkan hukum dan menjalankan kewajiban konstitusionalnya. Jelas juga unsur ini tidak bisa dipenuhi," terangnya.
Kalaupun ucapan dan pernyataan para aktivis dianggap melangar karena ucapannya diangap berpotensi untuk terjadinya makar, maka jelas Romo, apa bedanya pernyataan-pernyataan mereka dengan pernyataan Kapolri Tito Karnavian yang menyebut-nyebut ada rencana makar? Dia pun perlu menggarisbawahi bahwa, makar hanya bisa dilakukan dengan kekuatan senjata.
"Sementara yang memiliki senjata itu adalah Polisi dan TNI. Makanya kalau Tito menuduh ada makar, dia artinya mau menuduh ada keterlibatan TNI, karena rakyat gak mungkin makar. Masak orang tidak punya senjata apa-apa mau makar," cetusnya.
Kalaupun rakyat mau menggulingkan Presiden dan Wapres, maka menurutnya apa yang dilakukan rakyat adalah sah karena rakyat itu pemegang kekuasaan tertiggi di Republik Indonesia ini. "Rakyat itu melalui wakil-wakilnya punya hak konstitusional untuk memakzulkan Presiden, jadi tidak perlu Makar. Makanya aneh pernyataan Tito ini siapa yang dimaksudnya mau makar?," pungkasnya.(bh/mnd) |