JAKARTA, Berita HUKUM - Muhammadiyah dalam keterangannya memperkuat keterangan dari Pihak Terkait sebelumnya yang menolak dengan tegas perkawinan beda agama berdasarkan perspektif agama Islam. “Berdasarkan keputusan para ulama Muhammadiyah, wanita muslim haram menikah dengan selain pria yang beragama Islam dan pria muslim haram menikahi perempuan musyrikah,” ujar Syaiful Bakri, Ketua Majelis Hukum Pimpinan Pusat Muhammadiyah sebagai Pihak Terkait perkara pengujian Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) pada sidang yang digelar pada Rabu (10/22).
Keterangannya tersebut didiasarkan pada aturan dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 221 yang melarang pria muslim untuk menikah dengan wanita yang bukan beragama Islam. Meskipun demikian, Syaiful mengakui adanya perdebatan dalam aturan tersebut karena ada ayat lain yang memperbolehkan pria muslim untuk menikahi wanita-wanita ahli kitab (Yahudi dan Nasrani), seperti yang tercantum dalam surat Al-Maidah ayat 5.
Muhammadiyah sendiri, menurutnya telah menetapkan keputusan bahwa pernikahan beda agama tidak diperbolehkan untuk dilakukan bagi umat islam. “Ada beberapa alasan yang mendukung keputusan kami, yang pertama adalah ahli kitab yang disebutkan dalam Al-Qur’an dengan yang ada sekarang telah jauh berbeda. Yang kedua pernikahan beda agama tidak mungkin akan menghasilkan keluarga yang sakinah sebagai alasan utama perkawinan, dan yang terakhir adalah dalam rangka menjaga keimanan. Kami sama sekali tidak menganjurkan perkawinan beda agama,” jelas Syaiful.
Pada sidang yang diajukan oleh mahasiswa dan alumni Fakultas Hukum Universitas Indonesia tersebut, para Pemohon mengajukan dua orang saksi. Salah seorang saksi, Ahmad Nurcholis adalah seorang pemeluk agama Islam yang menikahi seorang perempuan beragama Konghucu. Dia mengutarakan, berbagai hal yang menjadi kesulitan atas keputusannya tersebut, dari kesulitan pencatatan sipil hingga keraguan para petugas terhadap parameter “ke-agama-an” yang dimiliki oleh Konghucu.
Nurcholis yang banyak memberikan konsultasi pada calon pasangan suami istri berbeda agama, juga menyatakan bahwa dalam penelitian yang dilakukannya bersama Komnas HAM, dia menemukan dua aspek yang bisa menjadi pertimbangan. “Yang pertama adalah aspek keagamaan dan yang kedua adalah aspek konstitusi. Dalam aspek keagamaan, mayoritas ulama berkata tidak, meskipun ada kontroversi. Dalam aspek konstitusi, benar tadi kata para pihak terkait, ada kekosongan dalam persoalan ini,” Nurcholis.(mk/Winandriyo Kun/mh/bhc/sya) |