Beranda | Berita Utama | White Crime | Cyber Crime | EkBis | Opini | INDEX Berita
Eksekutif | Legislatif | Gaya Hidup | Selebriti | Nusantara | Internasional | Lingkungan
Politik | Pemilu | Peradilan | Perdata| Pidana | Reskrim
EkBis    
BUMN
PP 72/2016 Menggunting Pengawasan DPR pada Kementerian BUMN
2017-01-16 11:43:15
 

Ilustrasi. Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon saat di gedung DPR RI, Senayan, Jakarta.(Foto: BH/mnd)
 
JAKARTA, Berita HUKUM - Langkah pemerintah merevisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 44/2005 tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara pada BUMN, sebagaimana yang tertuang dalam PP No. 72/2016 yang dirilis persis pada penghujung tahun 2016 kemarin dinilai menggunting pengawasan DPR terhadap Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

"Dalam catatan saya, PP No. 72/2016 merupakan upaya lanjutan untuk menggunting pengawasan DPR terhadap BUMN, dimana upaya-upaya awalnya sudah lama dilakukan pemerintah. Untuk membiayai program infrastruktur, misalnya, pemerintah yang sedang tidak punya uang telah mendorong BUMN untuk membuat utang utang sendiri, seperti yang dilakukan sejak 2015 lalu," kata Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon dalam rilisnya yang disampaikan kepada Parlementaria, baru-baru ini.

Fadli menegaskan, PP No. 72/2016 yang melonggarkan tata cara penyertaan modal negara dan pengalihan kekayaan negara pada BUMN dengan tanpa harus melalui persetujuan DPR, jelas bermasalah.

Aturan itu, lanjutnya, bahkan bisa mengarah kepada pelanggaran konstitusi yang serius. Sebab, semua hal yang terkait dengan masalah keuangan dan kekayaan negara merupakan obyek APBN, yang pembahasannya, sesuai dengan UUD 1945 Pasal 23, harus dibahas dan disetujui oleh DPR.

"Sebagai obyek APBN, maka setiap bentuk pengambilalihan atau perubahan status kepemilikan saham yang termasuk kekayaan negara haruslah sepengetahuan dan mendapatkan persetujuan DPR. Itu juga merupakan ketentuan UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara dan UU No. 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara. Pemerintah tidak bisa seenaknya merusak mekanisme ketatanegaraan dengan menyusun aturan yang bertentangan dengan undang-undang, dan bahkan konstitusi," papar politisi Gerindra ini.

Ia menjelaskan, bahwa apa yang dilakukan pemerintah terhadap BUMN dalam kaitannya dengan proyek pembangunan infrastruktur bisa dianggap sebagai bentuk fait accompli terhadap pengawasan DPR.

Sebab, di atas kertas setiap utang luar negeri pemerintah seharusnya melalui persetujuan DPR. Namun, dengan melempar utang itu ke BUMN, dengan menjadikan seolah berbagai proyek pembangunan infrastruktur adalah proyek "B to B" dari BUMN, maka persetujuan DPR itu seolah tidak lagi diperlukan. Kini, pengguntingan peran DPR itu ingin dilakukan juga dalam kaitannya dengan pengalihan kekayaan negara. Pemerintah seolah ingin berjalan tanpa kontrol. Ini berbahaya sekali.

"Saya masih melakukan kajian, tapi penerbitan PP No. 72/2016 ini menurut saya ada kaitannya dengan rencana Kementerian BUMN yang meminta Pertamina untuk mengakuisisi Perusahaan Gas Negara (PGN). Itu sudah jadi kontroversi dalam dua tahun terakhir, karena banyak sekali keanehan dalam rencana itu," ungkapnya.

Pertamina adalah perusahaan negara yang seratus persen sahamnya dimiliki pemerintah, terangnya, sementara PGN adalah BUMN yang sudah go public dan sebagian sahamnya dimiliki asing. Sebelum Pertamina mengakuisisi PGN, sebelumnya PGN akan mengakuisisi terlebih dahulu Pertagas, anak perusahaan Pertamina yang core business-nya sama dengan PGN.

Kerumitan itulah, menurut Fadli, yang selama ini disebut oleh Menteri BUMN sebagai usaha untuk membangun holding BUMN migas. Ada banyak hal yang ganjil terkait rencana itu. Dan semua keganjilan itu kini ingin diloloskan dari pengawasan dan kontrol DPR melalui penerbitan PP No. 72/2016. Menurutnya, ini tidak boleh dibiarkan.

"Perlu penjelasan dari pemerintah mengenai hal ini. Supaya tidak ada yang ditutup-tutupi, semua harus diteliti dan didalami, agar jelas duduk perkaranya. Jangan sampai kekayaan negara kita, baik yang berupa kekayaan alam, maupun BUMN, sedikit demi sedikit kemudian tidak lagi berada dalam penguasaan dan kontrol negara karena aksi yang gegabah dari Kementerian BUMN. Sudah cukup kasus lepasnya Indosat dulu, jangan lagi kebodohan serupa kini diulangi lagi." Mantapnya.(sc/DPR/bh/sya)



 
   Berita Terkait > BUMN
 
  Pakar Koperasi: Justru Erick Thohir yang Lakukan Pembubaran BUMN
  Kasus Dugaan Korupsi PLN Batubara, Kejati DKI Kumpulkan Data dan Keterangan Sejumlah Pihak
  Legislator Desak Batalkan IPO PT Pertamina Geothermal Energy
  Terkait Anggaran Proposal Rp100 Miliar Acara Temu Relawan Jokowi di GBK, Ini Klarifikasi Mantan Sekjen Projo
  Komisi VI Setujui Tambahan PMN 3 BUMN
 
ads1

  Berita Utama
Jokowi Akhirnya Laporkan soal Tudingan Ijazah Palsu ke Polisi, 5 Inisial Terlapor Disebut

Polri Ungkap 72 Kasus Destructive Fishing, Selamatkan Kerugian Negara Rp 49 Miliar

3 Anggota Polri Ditembak Oknum TNI AD di Way Kanan Lampung, Menko Polkam Minta Pelaku Dihukum Berat

Tolak Tawaran Jadi Duta Polri, Band Sukatani Akui Lagu "Bayar Bayar Bayar" Diintimidasi

 

ads2

  Berita Terkini
 
Jokowi Akhirnya Laporkan soal Tudingan Ijazah Palsu ke Polisi, 5 Inisial Terlapor Disebut

Polri Ungkap 72 Kasus Destructive Fishing, Selamatkan Kerugian Negara Rp 49 Miliar

3 Anggota Polri Ditembak Oknum TNI AD di Way Kanan Lampung, Menko Polkam Minta Pelaku Dihukum Berat

BNNP Kaltim Gagalkan Peredaran 1,5 Kg Sabu di Samarinda dan Balikpapan

Kasus Korupsi PT BKS, Kejati Kaltim Sita Rp2,5 Milyar dari Tersangka SR

ads3
 
PT. Zafa Mediatama Indonesia
Kantor Redaksi
Jl. Fatmawati Raya No 47D Lt.2
Cilandak - Jakarta Selatan 12410
Telp : +62 21 7493148
+62 85100405359

info@beritahukum.com
 
Beranda | Tentang Kami | Partner | Disclaimer | Mobile
 
  Copyright 2011 @ BeritaHUKUM.com | V2