JAKARTA (BeritaHUKUM.com) – Tak hanya Muhammadiyah, ormas keagamaan, yakni Nahdlatul Ulama (NU) juga mengutuk keras aksi bom bunuh diri di Gereja Bethel Injil Sepenuh (GBIS), Kepunton, Solo, Jawa Tengah. Peristiwa ini kembali menyudutkan Islam. Untuk itu, pemerintah diminta segera mengungkap motif dibalik aksi tidak sangat biadab tersebut.
“Mengapa saat negeri mulai dalam keadaan kondusif, ada aksi-aksi tidak bertanggungjawab dan diluar rasa kemanusiaan ini? Apalagi selalu mengatasnamakan Islam. Peristiwa itu makin menyulitkan upaya perbaikan nama yang tengah kami lakukan bersama ormas keislaman lainnya," kata Ketua Umum PBNU Said Aqil Siradj di Jakarta, Minggu (25/9).
Menurut dia, berkaca pada kejadian yang sama sebelumnya, aksi teroris dengan cara melakukan bom bunuh diri ini, benar-benar makin menyudutkan nama Islam, karena asal pelaku pengeboman ini. Kejadian ini tentu saja merugikan Indonesia di mata dunia internasional. Untuk mengembalikan citra Indonesia sebagai negara yang aman, NU meminta aparat keamanan dan intelijen segera mengungkap pelaku, dalang serta jaringan terorisnya bersama motif yang mendasarinya di balik aksi biadab tersebut.
Said juga mengimbau warga Nahdliyin senantiasa mengedepankan kewaspadaan. Seruan ini disampaikan atas dasar seluruh warga negara, apapun agama dan latar belakang yang dimilikinya, sudah semestinya hidup berdampingan saling menjaga satu sama lain. "Tidak semestinya ada sekelompok orang dengan apapun alasannya melakukan penyerangan, pengemboman dan teror dalam bentuk lain terhadap sesama manusia,” tandasnya.
Sementara itu, mantan Ketua Umum PBNU Hasyim Muzadi berpendapat bahwa salah satu faktor penyebab adanya kasus peledakan bom di Indonesia, karena masih lemahnya UU menyangkut penanggulangan terorisme. "BIN (Badan Intelijen Negara-red) tidak tajam menganalisis, karena UU juga belum tajam," kata Hasyim.
Dalam UU Pemberantasan Terorisme, lanjut dia, mestinya juga diatur tentang langkah-langkah pencegahan, bukan sekadar tindakan yang harus diambil setelah peristiwa terjadi. Aparat tidak perlu takut HAM. Semua pihak harus sepakat bahwa aksi teror itu juga melanggar HAM. Dengan begitu artis real dari HAM itu. “Bukan berarti harus korbankan semuanya demi slogan HAM," selorohnya.
Hingga kini, kata Hasyim, belum ada strategi yang jitu dan koordinasi yang matang untuk pemberantasan terorisme. Tapi, dalam menanggulangi terorisme, Badan Nasional Pemberantasan Terorisme (BNPT) harus berkoordinasi dengan Kementerian Agama dan Kementerian Dalam Negeri untuk membuat program dari tingkat nasional sampai tingkat kabupaten/kota, tidak lagi hanya sebatas menggelar seminar.
Tokoh lintas agama, jelas Hasyim, juga perlu dilibatkan untuk memberi peringatan kepada masyarakat tentang masalah yang menyangkut fundamentalisme agama. Gerakan antiteror harus dilakukan melalui pendekatan kultural, agama, hukum, keamanan dan represi secara seimbang. "Jika polisi hanya menembak di jalan, malah akan menyuburkan terorisme," imbuhnya.(mic/irw)
|