JAKARTA, Berita HUKUM - Pelaksana Tugas (Plt) Ketua DPR RI Fadli Zon menilai sudah saatnya negara memiliki Rancangan Undang - Undang (RUU) yang mengatur kedaulatan negara di ruang udara. Mengingat, wilayah barat udara NKRI saat ini masih dikuasai negara tetangga, sehingga izin terbang pesawat di Indonesia pun masih dikendalikan Singapura.
"RUU ini sangat penting karena belum ada aturan yang menguatkan sistem kedirgantaraan kita. Seperti yang dikatakan, tanah, air, udara dan yang terkandung didalamnya agar dikuasai negara, namun udara seringkali kita nafikkan dan sebagian wilayah masih diatur negara lain," papar Fadli dalam Seminar Nasional Peringatan Hari Bela Negara di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Sabtu (23/12).
Sebagaimana diketahui, izin penerbangan di wilayah Barat Indonesia didelegasikan kepada Singapura. Artinya Singapura-lah yang memiliki kewenangan mengatur segala perizinan penerbangan, termasuk di wilayah perbatasan, seperti Kepualauan Riau yang mencakup Batam, Tanjung Pinang dan Natuna.
Ditempat yang sama, Wakil Presiden Indonesia dan Aerospace Watch (IAAW) Juwono Kolbioen mengatakan, Indonesia belum berdaulat seutuhnya, sebab Singapura masih berkuasa di sebagian ruang udara NKRI. Ironisnya, penguasaan itu terlah berlangsung lama selama 71 tahun.
Ia melanjutkan, berdasarkan konvensi Chicago 1944, ruang udara merupakan wilayah kedaulatan yang eksklusif. Sehingga, DPR bersama Pemerintah harus betul-betul memikirkan adanya RUU Kedaulatan di udara.
"Ini kepentingan semua, masalah kedaulatan itu ga main-main. Memang awalnya, ditangani oleh Singapura untuk kepentingan keselamatan terbang. Namun ini sudah berlangsung cukup lama," jelasnya.
Menurutnya, sudah sepantasnya negara mengambil alih kendali, terlebih lagi penguasaan sebagian wilayah udara NKRI oleh Singapura berdasarkan perjanjian yang tidak memiliki kekuatan hukum yang pasti. Sebab, dalam perjanjian bilateral tahun 1955 tersebut, diamandatkan bahwa perjanjian berlaku apabila disetujui ICAO (International Civil Aviation Organization) dan semenjak berlaku harus dikaji ulang setiap 5 tahun.
"Sampai sekarang ICAO belum pernah menyetujui perjanjian tersebut tapi masih tetap diberlakukan. Sementara, Singapura tidak menginginkan perjanjian tersebut dikaji ulang dengan alasan belum berlaku. Nah, ini yang harus diluruskan bahwa perjanjian tidak berlaku secara sah dan tidak bisa dicabut hanya bisa dikaji ulang," sambungnya.(ann/DPR/bh/sya) |