JAKARTA, Berita HUKUM - Terkait pernyataan Menko Polhukam Wiranto menyatakan orang yang mengajak menjadi golongan putih (Golput) dalam Pemilu 2019 merupakan pengacau pada, Rabu (27/3) saat dilansir beberapa media nasional, menurut Natalius Pigai itu merupakan logika valacy atau logika sesat, demikian Pigai menyatakan saat diwawancarai para wartawan pasca sesi diskusi yang digelar di kawasan Sahardjo, jalan Guntur49 Jakarta Selatan, Kamis (28/3).
Usai sesi diskusi dan konsolidasi kaum pergerakan dan aktivis oposisi di Rumah Kedaulatan Rakyat, Setiabudi Jakarta Selatan yang turut dihadiri oleh Sri Bintang Pamungkas (pendiri PUDI), Yudi Syamhudi Suyuti (koordinator Eksekutif JAKI), Salim Hutajulu (aktivis Malari 1974). Pigai menerangkan kalau penentuan pilihan itu adalah hak.
Maka equivalen dengan itu, lanjut mantan Komisioner Komnas Hak asasi manusia (HAM) Republik Indonesia (RI) itu menjelaskan bahwa mengajak orang memilih A dan mengajak orang memilih B adalah kewajiban, karena di UU partai itu, pendidikan partai itu ada di dalam partai politik. Kalau orang-orang parpol mengajak memilih, dan tidak netral?.
Pendidikan politik itu merupakan tanggung jawab Parpol yang bersangkutan. Pendidikan politik bukan hanya sekedar tanggungjawab penyelenggara Pemilu, baik KPU, Bawaslu, DKPP, Pemerintah.
"Karena itu, ketika orang politik menyatakan memilih A, menyatakan memilih B, atau menyatakan tidak memilih itu adalah hak. Kecuali menghasut, penghasutan," tandas Natalius Pigai, Kamis (28/3).
Sejatinya, mengajak orang untuk tidak memilih itu tidak apa apa. Tidak memilih juga tidak berdosa, jelasnya kembali.
Seraya dirinya memberikan contoh permisalan, "kalian memilih Prabowo, silahkan memilih Jokowi, silahkan tidak memilih. Yah, gak apa-apa kan mestinya".
"Dalam hal ini Wiranto sesat pikir, dimana tidak mampu meng'Grand Design' sistem demokrasi yang berjalan" kata Pigai.
Tengok saja, sebelumnya, pernyataan Menkopolhukam itu sebelumnya, Sambungnya mengkritisi, "Bayangkan saja, hoax itu terorisme, dimana Hoax dihadapi dengan UU terorisme. Orang mengajak golput sekarang dianggap pidana. itu tidak bisa," tegas Pigai.
Karena itulah, Pigai menyampaikan bahwa sekarang apabila membahas dan membicarakan tentang persoalan demokrasi, hoax, bahkan juga tentang Golput, "tengok sajalah itu di 'google' semuanya tentang Indonesia. Berarti Indonesia sudah cenderung parah ini," bebernya.
"Kenapa di AS tidak banyak orang bicara tentang hoax, di Inggris, Australia, Singapura, bahkan di Malaysia. Karena disana Hoax sudah tidak jadi persoalan, sementara di Indonesia, dianggap problem," ujar Pigai menekankan.
Persoalan Hoax terjadi di Indonesia ini, menurut Pigai dikarenakan 'kran' demokrasi disumbat.
"Maka itulah orang tidak bisa mengekspresikan, maka orang cenderung mencari perhatian maka memberikan pernyataan yang kontra produktif," paparnya.
Soalnya saluran demokrasi, baik parpol, media, lalu berbagai instrumen civil society disumbat, cetus Pigai.
Padahal, "kecenderungan Hoax yang paling besar itu yang dilakukan oleh pemimpin negara, itu seperti Jokowi bilang Esemka, itu kan Hoax terbesar. lalu Ma'ruf Amin bilang kemudian akan dilaunching, kata Natalius Pigai.
"Maka itulah bicara tentang Hoax, semestinya mereka dulu yang dihukum. Lalu kini, terkait persoalan 'Golput', padahal Golput itu sebenarnya sama saja dengan memilih. Dimana ada orang yang pilih A, pilih B, dan tidak memilih," jelas Pigai.
Itu sama saja, "kalau dikenakan pidana golput itu sama dengan memilih, dimana baik memilih A dan memilih B, itu merupakan hak pilih loh. Artinya Wiranto mau mengembalikan negara Tiran," Utara Pigai mencermati.
Seperti contoh, silahkan memilih PDI Perjuangan, silahkan memilih Jokowi, silahkan memilih Prabowo, silahkan tidak memilih. itu kan sama saja. "Jadi kalau silahkan tidak memilih, menyatakan pidana maka itu silahkan memilih Prabowo dan silahkan memilih Jokowi itu ekuivalen yang sama, kena pidana dong," tukasnya.
"Ini artinya sama saja Wiranto ingin Indonesia tidak memilih, maka proses pemilihan tidak ada. bahkan mau mengembalikan Indonesia ke negera Tiran. Karena menggiring negara kita totaliter dan mengarah pada negara tidak melaksanakan pemilihan," tutup Pigai.(bh/mnd) |