Beranda | Berita Utama | White Crime | Cyber Crime | EkBis | Opini | INDEX Berita
Eksekutif | Legislatif | Gaya Hidup | Selebriti | Nusantara | Internasional | Lingkungan
Politik | Pemilu | Peradilan | Perdata| Pidana | Reskrim
EkBis    
Pertumbuhan Ekonomi
Muchtar Effendi Harahap: Liberalisasi Ekonomi Indonesia Berlanjut
Friday 21 Aug 2015 02:56:56
 

Ilustrasi. Muchtar Effendi Harahap.(Foto: Istimewa)
 
JAKARTA, Berita HUKUM - Fenomena liberalisasi ekonomi berlanjut dan kian meningkat pesat di Indonesia, meski 70 tahun Kemerdekaan Republik Indonesia (RI) sudah kita lewati, momen perayaan Hari Kemerdekaan tiap 17 Agustus menjadi seremonial budaya, berkat keberanian para founding father menyatakan Merdeka dan Berdaulat di negeri tercinta Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Istilah Neoliberalisme tetap dipakai untuk menunjukkan kinerja ekonomi pasar bebas dalam coraknya yang lebih ektrim. Para ekonom pasar liberal ini justru diyakini memiliki kemampuan mengurus dirinya sendiri, tanpa adanya intervensi dari negara dalam mengurusi perekonomian. Neoliberal tidak lebih dari kumpulan pemikiran anti intervensi Pemerintah dalam perekonomian. Semua kontrol ekonomi diserahkan kepada mekanisme pasar (pihak swasta), termasuk keluar masuk devisa.

Negara tidak perlu membatasi, semua berdasarkan hukum permintaan dan penawaran. Kaum pengeritik menuduh perekonomian neoliberal selama ini sebagai sistem tidak pro job, pro rakyat, tidak pro kemiskinan, tetapi lebih condong kepada pengurus orang kaya, kaum kapitalis, dan para pelaku rente ekonomi.

Menurut pandangan Mochtar Effendy Harahap, ada beberapa fenomena yang dapat dijadikan indikator dalam menganalisa sistem ekonomi Neoliberal.

"Pertama (1), Dominasi Pasar Domestik dikuasai Asing, Kedua (2), Kepemilikan Perbankan di tangan Asing, Ketiga (3), Struktur Usaha lebih memihak Korporasi, dimana kucuran kredit dalam era UUD 45 Perubahan lebih memihak pada usaha korporasi ketimbang usaha mikro," katanya, sebagaimana keterangan pers yang diterima pewarta BeritaHUKUM.com, beberapa waktu yang lalu selepas momen 17-an.

Dominasi asing terakumulasi dari regulasi Pemerintah membuka peluang terlalu besar dan kurang selektif dalam memberikan izin investasi. Investor asing lebih memilih investasi yang padat modal dan teknologi, bukan padat karya. Imbasnya, investasi itu tidak membuka lapangan kerja yang luas bagi masyarakat.

Kondisi pasar tradisional nampak sekarat atau lesu. Berhubung menghadapi persaingan dengan pasar modern, hipermarket, hypermart, dan sejenisnya.

Di Jakarta, misalnya, sekitar 80% pedagang tradisional saat ini tidak mampu tumbuh, bahkan tidak untung, karena kalah bersaing dengan pasar modern. Bahkan, beberapa pasar regional, kota dan wilayahpun dikuasai produk impor.

"Sesungguhnya Indonesia mengalami ketergantungan pada impor semakin meningkat. Pertumbuhan impor melaju lebih cepat dari pertumbuhan."

Beliaupun menjelaskan dimana ketergantungan impor berimbas pada besi, baja, plastik, produk turunan minyak bumi, dan permesinan. Sedangkan Industri makanan dan minuman olahan pada impor tepung gandum, susu, produk daging, kedelai, hingga gula.

Selain ketiga Indikator yang sudah dijelaskan diatas, ada tiga (3) point yang tak luput juga berpengaruh dalam kondisi ekonomi Neolib turut nampak, yakni "Keempat (4), Utang Luar Negeri kian membesar hingga nilainya nyaris dengan PDB, Kelima (5), Indonesia Sudah Menjadi Pengimpor Minyak, dan yang terakhir, Keenam (6), Sistem Kontrak Karya dengan Korporasi Asing tidak adil dan merugikan harta negara. Dimana 89 % produksi (eksplorasi dan eksploitasi) Migas dikuasai asing, sisanya hanya 11 % dikuasai kontraktor nasional , termasuk Pertamina." tegasnya.

Dengan dikuasainya sumber minyak oleh asing ini, membuktikan Pemerintah masih tunduk terhadap pemilik modal asing. "Diperkirakan keterpurukan Indonesia akan migas bakal berlangsung lama," imbuhnya khawatir.

"Pemerintah masih menganut paham ekonomi neo liberal. Telah terjadi kolonialisasi di dalam sektor energi di Indonesia, dan Nampak Pemerintah dibawah kontrol korporasi melalui ADB, World Bank, maupun USAID. Pemerintah tidak punya kedaulatan dalam rangka pengelolan perusahaan-perusahaan asing itu," tandasnya.(bh/mnd)



 
   Berita Terkait > Pertumbuhan Ekonomi
 
  Wakil Ketua MPR: Ekonomi Tumbuh Namun Kemiskinan Naik, Pertumbuhan Kita Masih Eksklusif
  Waspadai Pertumbuhan Semu Dampak 'Commodity Boom'
  Pimpinan BAKN Berikan Catatan Publikasi BPS tentang Pertumbuhan Ekonomi Kuartal I-2022
  Harga Tidak Juga Stabil, Wakil Ketua MPR: Pemerintah Gagal Menjalankan Amanat Pasal 33 UUD 1945
  Roadmap Ekonomi dan Industri Indonesia menuju Superpower Dunia
 
ads1

  Berita Utama
Jokowi Akhirnya Laporkan soal Tudingan Ijazah Palsu ke Polisi, 5 Inisial Terlapor Disebut

Polri Ungkap 72 Kasus Destructive Fishing, Selamatkan Kerugian Negara Rp 49 Miliar

3 Anggota Polri Ditembak Oknum TNI AD di Way Kanan Lampung, Menko Polkam Minta Pelaku Dihukum Berat

Tolak Tawaran Jadi Duta Polri, Band Sukatani Akui Lagu "Bayar Bayar Bayar" Diintimidasi

 

ads2

  Berita Terkini
 
Jokowi Akhirnya Laporkan soal Tudingan Ijazah Palsu ke Polisi, 5 Inisial Terlapor Disebut

Polri Ungkap 72 Kasus Destructive Fishing, Selamatkan Kerugian Negara Rp 49 Miliar

3 Anggota Polri Ditembak Oknum TNI AD di Way Kanan Lampung, Menko Polkam Minta Pelaku Dihukum Berat

BNNP Kaltim Gagalkan Peredaran 1,5 Kg Sabu di Samarinda dan Balikpapan

Kasus Korupsi PT BKS, Kejati Kaltim Sita Rp2,5 Milyar dari Tersangka SR

ads3
 
PT. Zafa Mediatama Indonesia
Kantor Redaksi
Jl. Fatmawati Raya No 47D Lt.2
Cilandak - Jakarta Selatan 12410
Telp : +62 21 7493148
+62 85100405359

info@beritahukum.com
 
Beranda | Tentang Kami | Partner | Disclaimer | Mobile
 
  Copyright 2011 @ BeritaHUKUM.com | V2