JAKARTA, Berita HUKUM - Penyertaan modal pemerintah Indonesia kepada Lembaga Moneter Internasional (IMF) sesungguhnya merupakan konsekwensi dari keanggotaan Indonesia di lembaga yang telah bertanggung jawab atas kerusakan ekonomi Indonesia saat ini. Pemerintah membayar Rp 25,8 Triliun kepada International Monetary Fund (IMF), dimana jumlah tersebut merupakan posisi jumlah akumulasi surat janji bayar (promissory note) yang diterbitkan oleh Pemerintah Indonesia sebagai penyelesaian atas modal Indonesia di IMF.
Penyertaan modal tersebut tidak dapat dibenarkan karena tanpa melalui konsultasi publik maupun persetujuan DPR. Terlebih, keanggotaan Indonesia dalam IMF adalah negara, bukan Bank Sentral. Persetujuan negara atas komitmennya dengan IMF dilaksanakan oleh bank sentral, karena pendekatan fungsi monternya. Sehingga ketika Pemerintah (Kementerian Keuangan) setuju atas kenaikan kuota suara, pembayaran dilakukan oleh otoritas fiskal namun pelaksanaanya dilakukan bank sentral. Sebuah gambaran skema jeratan IMF atas perekonomian di negara-negara berkembang selama ini.
Sebaliknya jika IMF memberikan fasilitas masuknya dana tersebut melalui bank sentral disertai dengan syarat atau conditionalities. Tentu saja jika Indonesia menyepakati kenaikan kuota suara akan berdampak pada beban pembayaran atas meningkatnya kuota tersebut. Karena otoritas fiskal (kemenkeu) yang membayar maka seharusnya komitmen menambah kuota suara yang berkonsekwensi terhadap naiknya jumlah iuran harus disetujui oleh DPR. Apakah pembayaran tersebut sudah sesuai dengan kepentingan dan kemampuan bangsa dan berdasarkan kondisi fiskal pemerintah.
Di sisi lain, hal ini juga merupakan imbas dari pelaksanaan Undang Undang Keuangan Negara No. 17/2003 dan Undang Undang Perbendaharaan Negara No. 1/2004 yang memberikan kewenangan yang sangat luas kepada otoritas fiskal (Menteri Keuangan) dalam menyepakati perjanjian-perjanjian internasional, khususnya perjanjian di bidang keuangan. Padahal Sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 yang menyebutkan: “Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undangundang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.”
Penyertaan Modal Pemerintah pada Lembaga Keuangan Internasional Terus Meningkat
Dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat menyebutkan penyertaan modal pemerintah tidak hanya kepada IMF tapi juga kepada lembaga keuangan internasional yang lain, misalnya ADB, Bank Dunia. Penyertaan Modal Pemerintah Indonesia dalam rangka keanggotaan pada beberapa organisasi/lembaga keuangan internasional/regional baik yang telah disetor maupun yang masih dalam bentuk promissory notes. Jumlah penyertaan modal pemerintah pada tahun 2010 mencapai Rp.34.65 triliun (LKPP 2010), meningkat sebesar Rp. 840 miliar dalam satu tahun menjadi Rp 35.49 Triliun (LKPP 2011), kemudian meningkat lagi sebesar Rp. 1.21 triliun menjadi Rp. 36.70 triliun ( Juni 2012, LKPP semester I 2012). Dari total 36.70 triliun pada tahun 2012, porsi penyertaan modal pemerintah kepada IMF merupakan yang terbesar sejumlah Rp 25,8 triliun.
Bertambahnya penyertaan modal kepada lembaga keuangan internasional/regional patut dipertanyakan. Pasalnya selain menambah beban anggaran negara, partisipasi Indonesia pada lembaga keuangan internasional justeru menjerumuskan bangsa ini pada akumulasi utang yang terus meningkat. Apalagi keanggotaan Indonesia di IMF tentu menjadi persoalan tersendiri. Dengan rekam jejak IMF dalam penyelesaian krisis ekonomi di Indonesia yang mendorong akumulasi utang dan kehancuran sistemik perekonomian nasional, kebijakan untuk memperkuat modal IMF bukanlah pilihan yang tepat. Bahkan dapat dikatakan tindakan tersebut merupakan bentuk pengkhianatan atas cita-cita konstitusi.
Dana “upeti” ke lembaga keuangan internasional tersebut akan lebih bermanfaat jika digunakan untuk pengentasan kemiskinan. Terlebih jika melihat kondisi ekonomi Idnonesia yang meskipun pada 2011 pertumbuhan ekonomi mencapai 6,3 persen, semestinya bisa menyerap 2,6 juta tenaga kerja, tetapi realisasinya tidak demikian. Sehingga tidak mengherankan kalau penurunan angka kemiskinan di Indonesia masih sangat kecil, hanya sebesar 0,84 persen dari 13,33 persen pada 2010 turun menjadi 12,49 persen pada 2011. Sementara jumlah penduduk kategori rentan miskin justru semakin meningkat dari 9,88 persen pada 2010 naik menjadi 10,28 persen pada 2011.
Reformasi Palsu IMF
Di tingkat internasional, tuntutan untuk mereformasi IMF dan Bank Dunia pasca krisis global 2008 juga masih mengundang masalah. Tidak hanya karena perubahan tersebut tidak menyangkut dari ideologi dasar kapitalisme-neoliberalisme yang tetap dipertahankan, tetapi masih dominannya peran negara maju dalam pengambilan keputusan di IMF menunjukkan kepalsuan reformasi yang didorong dalam pertemuan G20. Bahkan upaya ini telah digunakan untuk menyelamatkan sistem keuangan model kapitalisme yang tengah berada di jurang kehancuran.
Salah satu kesepakatan penting yang digagas oleh G20 adalah inisiatif untuk melakukan reformasi terhadap lembaga keuangan internasional seperti IMF dan Bank Dunia, sekaligus memberi mandat kedua institusi ini sebagai agen penting dalam membantu pemulihan krisis. Dalam London Summit disepakati penambahan dana untuk kedua lembaga ini hingga mencapai US$1.1 triliun. Dalam pertemuan G20 di Pittsburg (2009), para pemimpin G20 menyepakati untuk mengalihkan hak suara negara-negara maju sebesar 5% bagi negara berkembang.
Reformasi IMF menyebabkan bertambahnya kuota suara bagi negara berkembang, Indonesia memiliki kuota IMF sebesar 0,96%. Bersama-sama negara berkembang lainnya, secara menyeluruh kuota dari seluruh negara berkembang di IMF naik dari 39% menjadi 44%. Kuota negara-negara maju khususnya Eropa, turun 5% dari 61% menjadi 56%.
Mandat yang diberikan oleh anggota G20 tersebut memberi nafas baru kepada IMF setelah lembaga tersebut mengalami krisis legitimasi dan pembiayaan. Hal itu disebabkan karena negara-negara debitor IMF membayar lebih cepat utang mereka. Thailand membayar utang kepada IMF pada tahun 2003, lebih cepat dari jatuh tempo yang seharusnya, diikuti oleh negara-negara Amerika Latin seperti, Argentina, Brazil dan Venezuela. Indonesia juga membayar lebih cepat utang IMF pada tahun 2006. Kondisi tersebut menyebabkan terjadinya krisis keuangan di internal IMF karena pendapatan terbesar lembaga ini berasal dari pembayaran utang negara debitur.
Sejak tahun 2003 debitor IMF menurun hingga mencapai titik terendah, 35 negara pada tahun 2008. Setelah krisis tahun 2008, jumlah debitor IMF meningkat kembali mencapai 55 negara pada tahun 2011. Hal ini menunjukkan bahwa krisis ekonomi dunia tahun 2008 justru menjadi sumber keuangan baru baru IMF untuk kembali mendapatkan pendapatan dari pembayaran utang negara debitur (JDC, 2012).
Meskipun terjadi penambahan persentase hak suara bagi anggota dari negara berkembang, namun jika dibandingkan dari total hak suara masih sangat kecil, negara-negara maju masih mendominasi pengambilan keputusan dewan eksekutif IMF. Eropa memegang sepertiga dari kursi di dewan eksekutif dan klaim hak feodal yang dimiliki Eropa selalu menempati peran direktur eksekutif, terbukti dengan terpilihnya calon dari Uni Eropa Christine Lagarde sebagai Direktur IMF. Sedangkan Amerika Serikat memiliki hampir 17% hak suara sehingga memiliki hak veto.
Upaya untuk mereformasi persyaratan IMF kepada negara peminjam juga jauh dari harapan. Analisis terhadap enam fasilitas utang IMF yang dimulai pada tahun 2008 terhadap negara-negara berkembang yang terkena dampak krisis menunjukan bahwa kebijakan pengetatan fiskal dan moneter masih diberlakukan oleh negara-negara yang menjadi pasien IMF. Umumnya persyaratan yang dikenakan adalah membatasi atau mengurangi pengeluaran pemerintah dan defisit anggaran.
Terdapat 31 negara dari 41 negara yang membuat perjanjian IMF menjalankan resep-resep kebijakan pro-cyclical dalam kebijakan makro ekonomi di sektor fiskal dan moneter (CEPR, 2009). Belakangan persyaratan IMF tersebut juga telah memakan korban masyarakat di negara-negara Eropa dalam penanganan krisis di kawasan tersebut.
Oleh karena itu kami menyatakan
Menolak penambahan kuota Indonesia bagi lembaga rentenir IMF. Selain menimbulkan konsekwensi beban keuangan negara, penambahan kuota tidak mengubah dominasi negara kapitalis maju dalam pengambilan keputusan di lembaga ini.
Mendesak Pemerintah dan DPR melakukan evaluasi terhadap Penyertaan Modal Negara (PMN) pada lembaga keuangan internasional. Karena hal tersebut tidak didasari pada tujuan yang jelas dan merupakan bentuk kesia-kesian karena justeru menjerumuskan Indonesia dalam jeratan utang baru.
Memprioritaskan penggunaan uang negara bagi peningkatan kesejahteraan rakyat dan pengentasan kemiskinan daripada memberi tambahan modal bagi lembaga keuangan internasional.
Mendorong Pemerintah untuk terlibat dalam upaya memperkuat dan membangun alternatif lembaga keuangan regional yang bedasarkan solidaritas. Bukan didasarkan atas perburuan rente dan penciptaan ketergantungan ekonomi seperti yang dipraktekkan oleh IMF selama ini.
Mendesak perubahan UU Keuangan Negara No. 17/2003 dan UU Perbendaharaan Negara No. 1/2004 karena bertentangan dengan konstitusi. Perubahan ini dilakukan untuk membatasi kewenangan Menteri Keuangan dalam membuat perjanjian internasional di bidang keuangan negara yang menimbulkan dampak meluas bagi rakyat dan beban keuangan negara.(kau/bhc/opn) |