JAKARTA (BeritaHUKUM.com) - Partisipasi masyarakat dalam pemberantasan tindak pidana korupsi nyata terlihat sehari-hari di kantor Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK) yang beralamat di Jl. HR Rasuna Said, Kuningan, Jakarta.
Bertempat di lantai satu kantor KPK, tiga ruangan disediakan untuk melayani secara langsung pengaduan masyarakat terkait dugaan tindak pidana korupsi. "Untuk yang datang secara langsung, rata-rata per hari KPK menerima 6 sampai 10 pengaduan," ungkap Direktur Pengaduan Masyarakat KPK, Eko Marjono seperti yang dilansir di website resmi KPK, Selasa (4/3).
Selain tatap muka langsung, lanjut Eko, pelaporan dugaan korupsi ke KPK bisa juga dilakukan melalui surat, email, telepon, SMS, dan online melalui KPK Whistleblower's System (KWS). “Jika ditotal jumlah pengaduan yang diterima KPK, baik secara langsung maupun tidak langsung setiap bulannya mencapai rata-rata 500,“ lanjutnya.
Topik pengaduan yang dilaporkan meliputi berbagai bidang, di antaranya bidang pengadaan barang dan jasa, pengelolaan aset negara, serta pelayanan di bidang pendidikan, pertanahan, perpajakan, transportasi dan lain-lain. “ Terhadap semua pengaduan yang diterima akan dilakukan verifikasi untuk menentukan apakah pengaduan tersebut merupakan tindak pidana korupsi (TPK) atau bukan, dan apakah pengaduan tersebut telah didukung dengan bukti permulaan.” jelasnya.
Mengenai pengaduan yang termasuk dalam kategori TPK, Eko memaparkan bahwa TPK terdiri atas perbuatan melawan hukum atau penyalahgunaan kewenangan yang merugikan keuangan negara, suap menyuap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang serta benturan kepentingan dalam pengadaan serta gratifikasi. “Tapi, tidak semua TPK itu dapat ditangani KPK. Sesuai dengan Pasal 11 UU No 30/2002 KPK hanya bisa menangani kasus TPK yang melibatkan aparat penegak hukum, peyelenggara negara dan orang lain yang ada kaitannya dengan TPK yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara tersebut, mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat, serta menyangkut kerugian negara sedikitnya 1 miliar,“ papar Eko.
Adapun terkait bukti permulaan yang dapat disampaikan pelapor, mengacu pada ketentuan pasal 3 ayat (1) huruf b PP no. 71/2000, bahwa seseorang yang memberikan keterangan mengenai dugaan pelaku TPK dilengkapi dengan bukti-bukti permulaan. “Bukti permulaan dapat berupa bukti transfer, bukti kepemilikan, disposisi perintah, surat dan atau dokumen pendukung lainnya. Informasi yang valid disertai bukti permulaan yang lengkap akan membantu KPK dalam menuntaskan sebuah perkara korupsi,“ jelas Eko.
Menurut Eko, jika laporan tersebut mengandung indikasi TPK dan didukung dengan bukti permulaan, tim akan menindaklanjuti dengan melakukan penelaahan. Tetapi hingga saat ini, masih terdapat laporan pengaduan masyarakat yang tidak termasuk dalam kategori TPK. Jika pun termasuk TPK, kasus tersebut tidak dapat ditangani oleh KPK karena di luar kewenangan yang diamanatkan UU. “Kami akan komunikasikan dengan pelapor, bahwa laporannya harus di-drop karena tidak dapat ditindaklanjuti KPK atau diteruskan kepada instansi lainnya, seperti Kepolisian atau Kejaksaan” tandasnya. (kpk/sya) |