JAKARTA, Berita HUKUM - Mekanisme pemilihan Hakim Agung dalam Undang-Undang (UU) yang berbeda dengan mekanisme pemilihan Hakim Agung yang termaktub dalam UUD 1945, dipersoalkan oleh Made Darma Weda, R.M. Panggabean, dan St. Laksanto Utomo. Ketiganya yang merupakan dosen Fakultas Hukum Universitas Sahid Jakarta mengajukan uji materi persoalan tersebut ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Dalam perkara bernomor 27/PUU-XI/2013 itu, para Pemohon yang pernah mengikuti seleksi hakim agung di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) itu mempersoalkan Pasal 8 ayat (2), (3), (4) dan (5) UU No. 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 4 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (MA), dan Pasal 18 ayat (4), Pasal 19 ayat (1) UU No. 18 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (KY), yang mengatur mekanisme seleksi hakim agung, terhadap UUD 1945.
Dalam sidang yang berlangsung pada Selasa (19/03), para Pemohon melalui kuasa hukumnya, Yuherman dan Edy Halomoan Gurning menjelaskan kepada Majelis Hakim Konstitusi, bahwa akibat berlakunya ketentuan dalam UU MA dan UU KY, para Pemohon gagal menjadi hakim agung. Pada sidang yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva tersebut, Pemohon menilai ketentuan pada kedua UU itu telah menyimpang dari amanat Pasal 24A ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan calon hakim agung diusulkan Komisi Yudisial kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden,
“Dalam UUD 1945, KY usulkan hakim agung untuk mendapat persetujuan DPR, tiba-tiba berubah menjadi pemilihan,” ujar Edy Halomoan Gurning. Oleh karena itu Pemohon meminta kepada MK untuk menyatakan bertentangan dengan konstitusi, jika Pasal 8 ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) UU No. 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dan Pasal 18 ayat (4) dan Pasal 19 ayat (1) UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, jika tidak dimaknai calon hakim agung ditetapkan oleh Presiden setelah mendapat persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat.
Terhadap permohonan tersebut, Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi memberikan nasihat agar kedudukan hukum Pemohon dalam permohonan diperjelas. Selain itu Pemohon juga diminta untuk memperjelas argumentasi permohonannya. Sementara Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva meminta kepada kuasa hukum Pemohon untuk memperbaiki bagian pendahuluan permohonan yang dinilai terlalu panjang, sehingga bagian alasan permohonan menjadi kehilangan makna, karena seharusnya bagian pendahuluan hanya sebagai ilustrasi dalam permohonan.
Hamdan juga meminta kepada kuasa hukum Para Pemohon untuk mencari risalah sidang MPR dalam amandemen UUD 1945, karena banyak metode penafsiran yang dapat digunakan untuk menafsirkan suatu kata, dengan melihat risalah sidang MPR, maka dapat dilihat maksud pembentuk UUD dalam merumuskan Pasal 24A ayat (3) UUD 1945.
Para pemohon diberi waktu paling lambat 14 hari untuk memperbaiki permohonannya.(ilh/mk/bhc/rby) |