Beranda | Berita Utama | White Crime | Cyber Crime | EkBis | Opini | INDEX Berita
Eksekutif | Legislatif | Gaya Hidup | Selebriti | Nusantara | Internasional | Lingkungan
Politik | Pemilu | Peradilan | Perdata| Pidana | Reskrim
Opini Hukum    
Pemilu 2014
Media, Lembaga Survey dan Pilpres 2014, (Hakikatnya mendewasakan dan mendamaikan)
Saturday 12 Jul 2014 12:06:17
 

Ilustrasi.(Foto: Istimewa)
 
Oleh: Kamaruddin Hasan

TERUS TERANG saya dan dominan rakyat di nusantara ini merasa khawatir; melihat, mencermati dan menganalisa situasi dan kondisi realitas politik proses pilpres 2014. Kekhawatiran bukan masalah siapa yang akan definitif ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) melalui penghitungan manual menjadi presiden dan wakil presiden ke 7 negara ini pada pleno KPU 22 Juli 2014 nanti.

Tetapi lebih kepada; sejak dari awal kemunculan dua paket capres-cawapres, hirukpikuk proses masa kampanye, hari penceblosan, muncul exit poll, kemudian muncul hasil perhitungan cepat atau quick count dari berbagai lembaga survey yang ditanyangkan, diberitakan, diperdengarkan secara terbuka dan secara terus menerus oleh berbagai media massa baik elektronik, cetak maupun media online. Yang ditangkap oleh rakyat publikasi hasil survei tersebut oleh berbagai media telah menjadi alat kampanye untuk menaikkan elektabilitas pasangan capres-cawapres yang telah terafiliasi oleh dukungan dan keberpihakan, sehingga sangat sulit bagi rakyat menuntut sebuah netralitas, independensi dan obyektifitas sebuah informasi.

Terpaan pesan-pesan politik yang bertubi-tubi tersebut kebanyakan bersifat negatif, arogansi, nihil etika, saling menjatuhkan, saling menjelek-jelekkan, klim menang masing bahkan pendukung masing-masing kubu merasa mereka yang menang, dengan memperlihatkan sikap ngotot dengan kemenangannya, baik ngotot secara verbal bahkan ada yang mengarah ngotot secara fisik dan lain-lain. Terkesan masing-masing kubu hanya siap untuk menang belum siap untuk kalah, bukan dengan pernyataan-pernyataan atau komunikasi politik yang menenangkan, menyejukkan, mendamaikan situasi politik. Padahal, masa-masa awal proses pencalonan, masa kampanye komunikasi politik yang disampaikan bahwa mereka siap menang siap kalah, dan semuanya diserahkan kepada rakyat.

Hal inilah yang membuat khawatir saya dan juga rakyat nusantara yang sudah menunaikan kewajibanya memilih, selain menjadi bingung, apatis, skeptis dan kecewa. Seperti ada situasi dan kondisi yang tidak menyenangkan, mengkhawatirkan, was-was dan lain-lain. Situasi dan konsisi yang kurang kondusif yang dapat memunculkan konflik sosial-politik sesama anak bangsa.

Untuk itu saya kira, yang pertama, selain masing-masing kubu menahan diri sambil menunggu hasil perhitungan suara manual oleh KPU dengan mengawal suara secara ketat, menghargai dan menghormati suara/pilihan rakyat dengan tidak mempermainkan suara rakyat. Dalam masa menunggu tersebut proses komunikasi politik yang dijalankan oleh masing-masing capres-cawapres, tim pemenangan, relawan, simpatisan mesti dipikirkan efeknya secara luas, mampu mengontrol emosi, pesan-pesan politik yang menyejukkan, mendamaikan, mengharmoniskan dan saling menghargai. Prinsip utama adalah pilpres ini dilakukan demi rakyat yang 230 juta bukan kubu-kubuan tapi demi harkat dan martabat bangsa negara.
Kedua, saya kira, media massa baik elektornik, cetak, online (terutama yang sudah menjadi media public dengan legalitas yang jelas, bukan media abal-abal yang keberadaan dan kelahirannya hanya untuk kepentingan politik/pilpres, ekonomi prakmatis/sesaat-red).

Untuk media massa yang sudah menjadi media publik, sangat mendesak dilakukan prinsip-prinsip jurnalisme mendamaikan, bukan malah memperkeruh situasi dan kondisi yang memunculkan konflik sosial politik. Apalagi situasi menuju pleno KPU 22 Juli 2014 yang terasa semakin memanas sehingga wajar media sebagai lembaga publik dan sebagai salah satu pilar demokrasi dapat berperan mendamaikan dan lebih jernih menggungkapkan realitas politik tidak memperkeruh suasana dengan pemberitaan keberpihakan, mengunggulkan salah satu capres-cawapres secara berlebihan.

Eksploitasi hasil survei secara berlebihan dilakukan oleh media massa dengan keberpihakan secara terang terangan, dapat membahayakan situasi kondisi sosial politik dalam menggiring opini publik secara ekstrim dengan cara ngotot klim kemenangan masing-masing kandidat.

Rakyat paham betul media telah menjadi salah satu kekuatan penyaluran pesan-pesan politik, mempengaruhi proses politik kontemporer. Media massa memiliki kekuatan besar dalam semua ranah kehidupan termasuk ranah politik, dengan jangkauannya yang luas ke seluruh wilayah nusantara bahkan secara global dengan intensitas yang masif. Karena itulah keberadaan media massa, dianggap sebagai salah satu pilar dari demokrasi yang mesti dijaga dengan baik dan benar.

Media massa memiliki kemampuan dalam membentuk dan mengendalikan kesadaran rakyat yang mestinya bukan kesadaran palsu. Dengan kekuatannya, media massa bahkan mampu menentukan apa yang baik dan apa yang buruk bagi rakyat. Masalahnya, bagaimana media massa itu berpegang pada fakta-fakta objektif dengan menghadirkan kebenaran rill bukan keberanan palsu ditengah-tengah rakyat, dengan menjaga independensinya dari berbagai penetrasi kepentingan politik dengan sikap nonpartisan. Yang terjadi, media massa telah mampu secara masif, mengambil alih ruang publik rakyat dengan membentuk kesadaran tertentu bahkan kesadaran palsu demi kepentingan komersial dan politik.

Hubungan kepentingan yang terbangun diantara kekuatan politik/partai politik dengan media massa dewasa ini yang tidak hanya melahirkan komitmen bisnis, komersial secara professional tetapi juga memiliki dimensi politis secara afiliatif baik karena tendensi politik dari media massa itu sendiri maupun konflik status dimana pemilik media massa juga merangkap kontestan dalam pilpres.

Toni Sudbyo di Okezonenews, 29 April 2014 tentang Sikap Media Massa Dalam Pilpres, mendeskripsikan bagaiman dalam pemberitaan Metro TV dengan Nasdem maupun Viva Group dengan Aburizal Bakrie dan Golkar. Sehingga bubungan afiliatif media massa dengan capres/cawapres maupun parpol pengusungnya berdampak pada objektifitas informasi, bahkan potensi politisasi pemberitaan media. Perburuan rating dan keuntungan tidak lagi menjadi satu-satunya motivasi, tetapi sangat dimungkinkan insentif politik lain dari pembelaan media massa terhadap kelompok politik tertentu. Media massa telah menjadi agen pembentuk citra politik bagi yang memesannya, larut dalam skenario pertarungan opini yang acapkali tendensius dan berpotensi menyemai keresahan rakyat. Nihil pertarungan ide dan konsep pembangunan yang mestinya menjadi agenda utama pemberitaan para capres-cawapres.

Media massa mestinya menyadari sebagai bagian dari pilar demokrasi, yang menempatkannya pada posisi tanggungjawab yang besar dalam proses politik/ Pilpres. Sehingga netralitas dan objektifitas menjadi warnanya sebagai sumber informasi penting bagi rakyat dengan berorientasi pada kepentingan bangsa negara dengan menempatkan media massa sebagai sarana pendidikan politik yang penting bagi rakyat, tentu mesti diawali dengan kesadaran internal media massa.

Memang media bisa merekonstruksi realitas politik, tapi juga bisa menghadirkan hiperrealitas politik pilpres yang dapat membingungkan rakyat. Media Massa dapat diibaratkan pisau bermata dua. Pada satu sisi berpotensi mempertajam konflik, pada sisi lain berpotensi untuk menjadi peredam konflik. Jangan sampai media menjadi jurnalisme yang sakit /anomaly yang juga akan melahirkan rakyat yang sakit, pemarah, pendendam, senang bertikai, senang gosip/isu dan tidak cinta damai. Media massa jangan terjebak dengan konsep Jurnalisme konflik dengan objek pemberitaan tertarik dengan situasi konflik berkepanjangan dalam proses pilpres ini.

Media massa seharusnya mengarah pada pemberitaan yang memiliki nilai human interest. Didasarkan pada pendekatan menang-menang, tidak memandang siapa yang kalah dan siapa yang menang. Selalu mencari tahu asal-usul ketidakharmonisan dan alternatif penyelesaian. Konsep ini, media berpeluang untuk mendekatkan kedua belah pihak untuk berdamai dengan komunikasi politik yang mendamaikan. Prinsipnya adalah mengembangkan liputan yang berkiblat ke rakyat - people oriented. Dengan cara, melihat konflik politik sebagai sebuah masalah, sebagai ironi kemanusiaan yang tidak seharusnya terjadi. Melakukan seruan kepada semua pihak memikirkan hikmah kalau berkonflik.

Impian saya, bangun besok pagi tidak ada lagi berita di media massa yang berbau saling menghujat, saling ngotot, tidak ada lagi pemaksaan kehendak, tidak ada lagi pelecehan, penghinaan yang menisbikan hakikat kemanusiaan dengan alasan apapun. Berita-berita yang mengarah ke konflik politik, tidak saja meneror hati nurani, tetapi juga semakin mendorong kita pada batas krusial antara zona kehidupan dan kematian peradaban bangsa negara. Sekali lagi media berperan aktif menjadi bagian dari sebuah solusi, bukan justru memperparah keadaan dengan pemberitaan-pemberitaan yang berbau konflik, pertikaian mempertajam komflik masing-masing kubu.

Ketiga, selanjutnya saya melihat, perang publikasi hasil survey tentang pilpres secara berlebihan dan terkesan bombastis, juga menjadi kekahwatiran rakyat yang dapat memunculkan konflik. Memang diperlukan kejelian dan kehati-hatian dalam menerima rilis survey tersebut. Perang rilis survei Pilpres sudah mengarah pada muatan propaganda dan kampanye politik ketimbang bernilai akademik dengan metodelogi yang dapat dipertangungjawabkan.

Mulai dari berbagai rilis exit poll Pilpres 2014 untuk luar negeri yang membanjiri media massa dengan berbagai bentuk, jenis dan tujuannya. Kalau hanya hasilnya berbeda mungkin tidak menjadi masalah besar, itu mungkin metodenya berbeda, tetapi yang terjadi, baik exit poll dan rilis survey cenderung mengakomodasi kepentingan capres-cawapres sebagai kliennya masing-masing. Berseliweran rilis quick count lewat berbagai media dengan klim masing-masing jelas membingungkan dan mengecewakan rakyat.

Memanasnya pilpres kali ini, memang sudah terlihat sejak awal, bukan hanya ketika exit poll, rilis survey muncul, tapi sudah terlihat dalam kampanye negative/hitam, propaganda hitam, fitnah, ancaman, intimidasi, dan indikasi kecurangan.

Mengutip tulisan Aina Amalia FN di Jawa Pos 10 Juli 2014, mewaspadai Quick Count Pesanan, salah satunya status facebook Prof Koentjoro Soeparno; bahaya baru bagi kesatuan NKRI setelah kampanye hitam adalah quick count abal-abal. Tujuan quick count itu tidak benar-benar memberikan informasi valid kepada rakyat tentang hasil pilpres.

Bisa jadi hanya pesanan salah satu kandidat untuk membangun persepsi kemenangan dalam masyarakat atau kerjaan pihak-pihak yang ingin mencederai proses demokrasi Indonesia. Pihak itu melansir hasil penghitungan cepat untuk mengeruhkan suasana hati para pendukung yang telah terpolarisasi menjadi dua kubu, terbukti dengan adanya perbedaan hasil penghitungan cepat beberapa lembaga survei. Mesti diakui, hasil quick count  tersebut telah memengaruhi persepsi rakyat dengan memunculkan ekspektasi kemenangan pada kandidat yang diunggulkan serta para pendukungnya.

Harapan adalah ketika hasil penghitungan manual dari KPU diplenokan pada 22 Juli 2014 nanti, siapapun yang akan menang dan kalah, jangan sampai menjadi amunisi terjadinya konflik. Dengan menabur kekecewaan dan kecurigaan kepada kubu lain, dengan cenderung menempuh berbagai cara untuk menguatkan ekspektasi kemenangannya, termasuk dengan cara anarkistis.

Maka saya kira, diperlukan kedewasaan dengan sikap mental yang positif dari capres-cawapres, tim pemenangan, relawan, simpatisan dan para pendukung fanatik. Penyelenggara (KPU, Panwas dll) Pilpres yang benar-benar netral/independen, kemudian bagaimana menjadikan media massa yang benar-benar menjadi media publik, dalam hal ini selain internal industry media, rakyat, KPI, kementerian terkait mesti bertanggungjawab. Selanjutnya saya kira, lembaga-lembaga survey politik mesti ditertibkan dengan regulasi yang jelas dan tegas. Semuanya, untuk menghindari, potensi konflik yang dapat mencederai proses demokrasi bangsa Negara ini. Sekali lagi, jadilah kesatria, negarawan sejati dengan siap kalah dan siap menang…semoga.(kh/bhc/sya)

Penulis adalah Dosen Ilmu Komunikasi, Fisip, Unimal Aceh
Ketua Development for Research and Empowerment (DeRE-Indonesia)
Email: kamaruddinkuya76@gmail.com HP. 081395029273



 
   Berita Terkait > Pemilu 2014
 
  Sah, Jokowi – JK Jadi Presiden dan Wakil Presiden RI 2014-2019
  3 MURI akan Diserahkan pada Acara Pelantikan Presiden Terpilih Jokowi
  Wacana Penghapusan Kementerian Agama: Lawan!
  NCID: Banyak Langgar Janji Kampanye, Elektabilitas Jokowi-JK Diprediksi Tinggal 20%
  Tenggat Pendaftaran Perkara 3 Hari, UU Pilpres Digugat
 
ads1

  Berita Utama
Jokowi Akhirnya Laporkan soal Tudingan Ijazah Palsu ke Polisi, 5 Inisial Terlapor Disebut

Polri Ungkap 72 Kasus Destructive Fishing, Selamatkan Kerugian Negara Rp 49 Miliar

3 Anggota Polri Ditembak Oknum TNI AD di Way Kanan Lampung, Menko Polkam Minta Pelaku Dihukum Berat

Tolak Tawaran Jadi Duta Polri, Band Sukatani Akui Lagu "Bayar Bayar Bayar" Diintimidasi

 

ads2

  Berita Terkini
 
Jokowi Akhirnya Laporkan soal Tudingan Ijazah Palsu ke Polisi, 5 Inisial Terlapor Disebut

Polri Ungkap 72 Kasus Destructive Fishing, Selamatkan Kerugian Negara Rp 49 Miliar

3 Anggota Polri Ditembak Oknum TNI AD di Way Kanan Lampung, Menko Polkam Minta Pelaku Dihukum Berat

BNNP Kaltim Gagalkan Peredaran 1,5 Kg Sabu di Samarinda dan Balikpapan

Kasus Korupsi PT BKS, Kejati Kaltim Sita Rp2,5 Milyar dari Tersangka SR

ads3
 
PT. Zafa Mediatama Indonesia
Kantor Redaksi
Jl. Fatmawati Raya No 47D Lt.2
Cilandak - Jakarta Selatan 12410
Telp : +62 21 7493148
+62 85100405359

info@beritahukum.com
 
Beranda | Tentang Kami | Partner | Disclaimer | Mobile
 
  Copyright 2011 @ BeritaHUKUM.com | V2