Beranda | Berita Utama | White Crime | Cyber Crime | EkBis | Opini | INDEX Berita
Eksekutif | Legislatif | Gaya Hidup | Selebriti | Nusantara | Internasional | Lingkungan
Politik | Pemilu | Peradilan | Perdata| Pidana | Reskrim
Lingkungan    
Hutan
Mantan Anggota Panja: UU P3H Berikan 'Affirmative Action' Bagi Peladangan Tradisional
Thursday 05 Feb 2015 06:23:37
 

Ilustrasi. Gedung Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, di Jl. Merdeka Barat no 6 Jakarta Pusat, DKI Jakarta 10110‎.(Foto: BH/mnd)
 
JAKARTA, Berita HUKUM - Mantan Wakil Ketua Komisi IV sekaligus Mantan Ketua Panitia Kerja (Panja) Rancangan Undang-Undang Pencgahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (RUU P3H), Firman Soebagyo mengatakan UU P3H memberikan affirmative action kepada masyarakat yang melakukan peladangan tradisional. Meski demikian, bila terbukti peladangan tersebut dilakukan sebagai bagian dari korporasi maka masyarakat akan tetap dikenai sanksi. Hal itu disampaikan Firman saat hadir di sidang Pengujian UU P3H selaku saksi yang dihadirkan oleh Pemerintah, Rabu (4/2) di Ruang Sidang Pleno MK.

Sebelum beranjak pada esensi permohonan yang harus ditanggapi, Firman menyampaikan bahwa pembahasan RUU P3H memakan waktu sebanyak tujuh kali masa sidang pada periode 2009-2014. Firman juga menyampaikan bahwa RUU P3H merupakan hasil usulan DPR yang melihat besarnya kerusakan lingkungan dan kerugian negara yang begitu besar akibat pembakaran liar dan penggunaan kawasan hutan secara tidak sah seperti penambangan liar di hutan.

Selain didasarkan fakta di lapangan, UU P3H dirancang juga dengan melandaskan pemikiran akan pentingnya satu penataan dalam pengelolaan sumber daya hutan yang secara filosofis, sosiologis, dan yuridis. Dari aspek filosofis, jelas Firman, hutan sebagai karunia dari Yang Maha Kuasa maka harus dikuasai oleh negara untuk dimanfaatkan serta dijaga kelestariannya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Hal tersebut sesuai dengan amanat Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Hutan Indonesia tidak hanya menjadi tumpuan bagi masyarakat sekitar, melainkan juga sebagai tumpuan keberlangsungan hidup bangsa-bangsa lain di dunia. Sebab, hutan Indonesia merupakan hutan tropis terluas di dunia yang dapat mengurangi dampak perubahan iklim global. Oleh karena itu, pemanfaatan dan penggunaan harus dilakukan secara terencana, rasional, optimal, dan bertanggung jawab sesuai dengan kemampuan daya dukung serta memperhatikan kelestarian fungsi dan keseimbangan lingkungan hidup guna mendukung pengelolaan hutan dan pembangunan kehutanan yang berkelanjutan bagi kemakmuran rakyat.

Firman juga memaparkan landasan sosiologis dan yuridis dibentuknya UU a quo. Dilihat dari landasan sosiologis, pembangunan hutan berkelanjutan memerlukan upaya yang sungguh-sungguh karena masih terjadi berbagai tindak kejahatan kehutanan seperti pembalakan liar hingga perkebunan ilegal. Terlebih, perusakan hutan telah berkembang menjadi satu tindak pidana yang berdampak luar biasa dan terorganisasi setelah melibatkan banyak pihak, baik nasional maupun internasional. Oleh karena itu, penanganan perusakan hutan harus dilakukan secara luar biasa atau extra ordinary salah satunya lewat UU a quo.

Bila dari aspek yuridis, masih ujar Firman, sebenarnya sudah lama dilakukan upaya penanganan perusakan hutan. Namun, upaa yuridis sebelumnya dianggap belum efektif dan belum menunjukkan hasil yang optimal karena peraturan perundang-undangan yang ada belum secara tegas mengatur tindak pidana perusakan hutan yang dilakukan secara terorganisasi. Dengan kata lain, pelaku perusakan hutan secara terorganisasi, terutama korporasi belum dapat dijerat oleh hukum yang ada. “Sebelumnya Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan hanya mengatur kejahatan kehutanan yang dilakukan oleh orang perseorangan dengan ancaman pidana yang belum memadai. Oleh karena itu, diperlukan payung hukum dalam bentuk undang-undang agar perusakan hutan terorganisasi dapat ditangani secara efektif dan efisien, serta pemberian efek jera kepada pelakunya,” ungkap Firman menjelaskan landasan yuridis dibentuknya UU P3H.

Restoratif

Menurut pengakuan Firman, UU P3H juga disusun dengan memasukkan aspek restoratif selain aspek represif. Dua aspek tersebut dimasukkan agar dapat memberikan payung hukum yang lebih tegas dan lengkap bagi aparat penegak hukum untuk melakukan pemberantasan perusakan hutan, sehingga mampu memberi efek jera bagi pelakunya. Selain itu aspek represif juga diperlukan untuk meningkatkan kemampuan dan koordinasi aparat penegak hukum dan pihak-pihak terkait melalui lembaga pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan dalam upaya pemberantasan perusakan hutan.

Sedangkan dari aspek restoratif, UU P3H disusun agar masyarakat dapat berperan dalam menjaga kelestarian hutan, terutama sebagai bentuk kontrol sosial pelaksanaan pemberantasan perusakan hutan. Dan yang terpenting adalah agar dapat menjamin keberadaan hutan secara berkelanjutan dengan tetap menjaga kelestarian dan tidak merusak lingkungan, serta ekosistem sekitarnya, guna mewujudkan masyarakat sejahtera

Firman juga memberikan penjelasan terkait dengan dalil Pemohon (WALHI, ICW, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara) mengenai adanya kriminalisasi terhadap masyarakat adat yang tinggal di kawasan hutan karena melakukan pemanfaatan hutan untuk kehidupan sehari-hari. Dengan tegas Firman mengatakan affirmative action ( kebijakan yang memberi keistimewaan pada kelompok tertentu, red) diberikan oleh pembentuk undang-undang kepada kegiatan peladangan tradisional yang telah hidup secara turun-temurun oleh masyarakat adat di sekitar kawasan hutan. “Affirmative action ini telah dituangkan dalam Pasal 11 Undang-Undang P3H,” tegas Firman.

Namun demikian, lanjut Firman, masyarakat yang bersangkutan harus mendapat izin dari pejabat yang berwenang terlebih dulu untuk melakukan kegiatan peladangan tradisional di kawasan hutan. Izin tersebut diperlukan untuk menjaga agar tindakan yang dilakukan oleh masyarakat sekitar hutan tersebut tetap memperhatikan keberlangsungan kawasan hutan. Sehingga, manfaat hutan yang optimal untuk kesejahteraan masyarakat sesuai amanat Konstitusi dapat tetap terwujud. Sebab pada kenyataannya, korporasi sering menggunakan atau memanfaatkan perseorangan maupun masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan hutan dalam tindakan perusakan hutan.

“Meskipun undang-undang (UU P3H, red) memberikan affirmative action kepada masyarakat peladangan tradisional, namun bagi masyarakat yang tinggal di kawasan atau sekitar hutan yang terlibat atau melakukan perusakan sebagai bagian dari jaringan korporasi yang terorganisasi tetap dikenakan sanksi. Meskipun tentu saja, pidananya jauh lebih rendah seperti yang diatur dalam pasal-pasal ketentuan pidana Undang-Undang tentang P3H ini,” tegas Firman.(YustiNurulAgustin/mk/bhc/sya)



 
   Berita Terkait > Hutan
 
  Uni Eropa Sahkan UU Anti-Deforestasi, Pemerintah Indonesia Mesti Berbenah
  Tak Hanya Identifikasi dan Pendataan, Ansy Lema Minta KLHK Tindak Tegas Pelaku Perusakan Hutan
  Cegah Kerusakan Hutan, Pengelolaan Hutan yang Lestari Harus Jadi Prioritas
  Perlu Penguatan Peran Negara dalam Perlindungan Kawasan Hutan
  Walhi: 427.952 Hektar Hutan Kalimantan Jadi Konsesi di Era Jokowi
 
ads1

  Berita Utama
Jokowi Akhirnya Laporkan soal Tudingan Ijazah Palsu ke Polisi, 5 Inisial Terlapor Disebut

Polri Ungkap 72 Kasus Destructive Fishing, Selamatkan Kerugian Negara Rp 49 Miliar

3 Anggota Polri Ditembak Oknum TNI AD di Way Kanan Lampung, Menko Polkam Minta Pelaku Dihukum Berat

Tolak Tawaran Jadi Duta Polri, Band Sukatani Akui Lagu "Bayar Bayar Bayar" Diintimidasi

 

ads2

  Berita Terkini
 
Jokowi Akhirnya Laporkan soal Tudingan Ijazah Palsu ke Polisi, 5 Inisial Terlapor Disebut

Polri Ungkap 72 Kasus Destructive Fishing, Selamatkan Kerugian Negara Rp 49 Miliar

3 Anggota Polri Ditembak Oknum TNI AD di Way Kanan Lampung, Menko Polkam Minta Pelaku Dihukum Berat

BNNP Kaltim Gagalkan Peredaran 1,5 Kg Sabu di Samarinda dan Balikpapan

Kasus Korupsi PT BKS, Kejati Kaltim Sita Rp2,5 Milyar dari Tersangka SR

ads3
 
PT. Zafa Mediatama Indonesia
Kantor Redaksi
Jl. Fatmawati Raya No 47D Lt.2
Cilandak - Jakarta Selatan 12410
Telp : +62 21 7493148
+62 85100405359

info@beritahukum.com
 
Beranda | Tentang Kami | Partner | Disclaimer | Mobile
 
  Copyright 2011 @ BeritaHUKUM.com | V2