JAKARTA, Berita HUKUM - Bagi pendiri Forum Kota (Forkot) Adian Napitupulu, sebuah gelar dalam ajang Pemilihan Umum (Pemilu) legislatif, tidak berarti apa-apa. "Karena yang berbicara saat ini, adalah uang. Tidak peduli jabatan atau gelar yang disandang sang caleg (calon legislatif) Kiai kan, mantan aktivis kan maupun doktor" ujar caleg PDI-Perjuangan ini saat diskusi yang bertema "Menguak Caleg Mantan Narapidana Politik dan Aktivis di Pemilu 2014" yang digelar di Media Center KPU Pusat, Menteng, Jakarta, Jumat (17/5).
Mantan aktivis 98 ini memberikan contoh, saat dirinya menjadi caleg pada pemilu 2009. Dimana, harus mendatangi ratusan desa di Kabupaten Bogor.
Dan dalam satu desa yang dikunjungi, Adian mengaku sedikitnya mengeluarkan uang sebanyak 2 juta. "Itu sudah ongkos dan makan. Nanti, ada pemuda karang taruna minta baju kostum bola itu kita kasih 500 ribu. Lalu, ibu-ibu pengajian minta sumbangan," ungkapnya.
Jika ada 200 desa. Maka dana yang dibutuhkan bisa sekitar Rp 400 juta. "Itu belum atribut kampanye seperti kaos, baliho dan spanduk," ungkap Adian.
Sehingga, dirinya berpendapat bahwa dalam pencalegkan yang paling diutamakan adalah biaya yang besar.
Sementara itu, pengamat politik dari Lima (Lingkar Studi Masyarakat Madani), Ray Rangkuti menegaskan bahwa hal itu bukanlah jaminan seorang caleg memperoleh kemenangan.
"Sebab, mantan aktivis bisa lebih kreatif dalam meramu kampanyenya. Apalagi, ada pangsa pasar (pemilih) yang tidak lagi melihat uang," ungkapnya.
Selain itu, persaingan mengandalkan uang, bukanlah cara jitu memenangkan pencalegkan. "Karena semua calon bisa. Sekarang, kita kasih uang ke masyarakat lalu datang lagi caleg yang lain dan berikan uang juga," jelas Ray.(bhc/riz) |