JAKARTA, Berita HUKUM - Rektor Universitas Parahiyangan (UNPAR) Bandung, Robertus Wahyudi yang didampingi empat rekannya dari UNPAR melakukan pertemuan dengan Ketua MK, Moh. Mahfud MD di ruang delegasi, lantai 15, Gedung MK, Rabu (20/3). Tujuan Robertus dan rekan sejawatnya menemui Ketua MK untuk melakukan klarifikasi atas pernyataan Mahfud tentang adanya jual-beli ijazah di UNPAR seperti yang diberitakan media online okezone.com.
Robertus yang didampingi Ketua Senat UNPAR Wimpy Santosa, Direktur Pascasarjana UNPAR Bambang Sugiharto, Wakil Rektor UNPAR Laurentius Tarpir, dan Dekan Fakultas Hukum UNPAR Sentosa Sembiring menyampaikan maksud kedatangan mereka adalah untuk melakukan klarifikasi. Robertus menyampaikan bahwa sebelumnya pada 11 Maret 2013 mereka membaca berita pernyataan Mahfud di okezone.com yang mengatakan UNPAR merupakan salah satu universitas pelaku jual-beli ijazah. Robertus dan segenap keluarga besar UNPAR terkejut membaca berita tersebut karena mereka merasa di UNPAR tidak pernah terjadi praktik seperti yang dikatakan Mahfud. Namun, untuk memperjelas hal tersebut dan tidak main tuding saja, Robertus berniat mengklarisikasi langsung kepada Mahfud.
“Terima kasih kami sudah diterima dengan baik. Maksud kedatangan kami ingin silaturahmi. Selain itu kami ingin klarifikasi berita di okezone.com tanggal 11 Maret 2013 yang memuat pernyataan Bapak saat di Kampus UNS. Di berita tersebut tertulis Bapak menyatakan adanya jual beli ijazah untuk mendapatkan gelar Doktor di UNPAR dan UNPAD. Kami kaget begitu membaca berita tersebut, tapi apa betul Bapak mengatakan begitu? Bisa jadi wartawannya yang salah tangkap. Atau kalau memang benar begitu, ada pihak ketiga yang melakukan jual-beli ijazah di UNPAR, kami mohon diberitahukan,” ujar Robertus menjelaskan maksud kedatangan mereka.
Menanggapi keluhan tersebut, Mahfud langsung meluruskan apa yang sebenarnya terjadi lengkap dengan kronologi kejadian saat itu. Mahfud menjelaskan saat itu memang ia sedang menyampaikan pidato di UNS dalam rangka pemberian UNS Award kepadanya. Dalam pidatonya, Mahfud menyampaikan kekecewaannya terhadap praktik jual beli ijazah, banyak ijazah palsu yang dimiliki pejabat-pejabat di Indonesia. Namun, dalam pidatonya Mahfud tidak menyebut sama sekali universitas mana yang melakukan hal tersebut karena alasan etika.
Usai memberikan pidato dan hendak menuju mobilnya, Mahfud dihadang wartawan yang ingin wawancara dengannya. Oleh para wartawan Mahfud ditanyai pertanyaan terkait pidatonya. Lalu, Mahfud menyampaikan ia pernah dengar ada gelar professor yang dicabut karena kasus plagiarisme di UNPAD. Namun, Rektor UNS yang berada di belakang Mahfud mengklarifikasi bahwa pencabutan gelar profesor itu di UNPAR, bukan UNPAD.
Belakangan, Mahfud baru menyadari pernyataannya tersebut kemungkinan “dipelintir” oleh wartawan yang menulis berita tersebut atau bisa jadi wartawan tersebut tidak menangkap konteks pernyataannya saat itu.
“Saya ingat betul itu. Kalau di pidato resmi saya memang bilang kalau ijazah banyak yang palsu tapi saya sama sekali tidak menyebutkan nama universitasnya,” jelas Mahfud yang didampingi Sekretaris Jendral MK, Janedjri M. Gaffar dan Kepala Biro Humas dan Protokol, Budi Achmad Djohari.
Mahfud menegaskan bahwa pernyataan dalam pidatonya tersebut disampaikan saat dirinya menyoroti maraknya aksi plagiarisme dalam dunia akademik. “Jadi saya bicara dalam konteks plagiarisme,” tegasnya. Dia juga menegaskan bahwa setiap pidatonya selalu didokumentasikan dalam bentuk rekaman suara yang bisa menjadi bukti.
Atas penjelasan tersebut, Robertus dan sejawatnya pun dapat menerimanya. Bahkan, Robertus juga membenarkan pernyataan Mahfud tentang pencabutan gelar profesor di UNPAR. “Memang benar kalau di UNPAR ada pencabutan gelar profesor pada tahun 2010 karena terbukti disertasinya hasil plagiat dari profesor di Australia. Kami juga sangat menyayangkan hal itu. Tapi kami tidak segan-segan untuk mencabut gelar itu untuk menjaga kualitas akademik di UNPAR,” ungkap Robertus.
Mahfud kemudian memastikan kepada Robertus dan rekannya bahwa ia akan melakukan klarifikasi dengan wartawan yang menulis berita tersebut dan kepada pihak okezone.com. “Tapi saya tetap minta maaf meskipun saya tidak menyatakan hal seperti itu. Nanti saya klarifikasi ke wartawannya. Nanti saya jelaskan,” ujar Mahfud memastikan sembari mengatakan “pelintiran” pernyataannya sudah sering dilakukan media, terutama pernyataannya terkait dunia politik.
“Tapi kesalahpahaman itu sering di dunia politik. Saya sering begitu (dipelintir pernyataannya, red). Tapi itu hanya 30 persennya sajalah yang begini-begini. Sisanya 70 persen pemberitaan media massa benar,” tukas Mahfud.(yna/mk/bhc/opn) |