Beranda | Berita Utama | White Crime | Cyber Crime | EkBis | Opini | INDEX Berita
Eksekutif | Legislatif | Gaya Hidup | Selebriti | Nusantara | Internasional | Lingkungan
Politik | Pemilu | Peradilan | Perdata| Pidana | Reskrim
Politik    
Demokrasi
Mahfud: Demokrasi Indonesia Mengarah ke Demokrasi Kriminal
Wednesday 20 Jul 2011 14:
 

BeritaHUKUM.com/tnc
 
MALANG-Mantan Bendahara Umum DPP Partai Demokrat (PD) Muhammad Nazaruddin benar-benar seperti duri dalam daging bagi bekas partainya itu. Pernyataannya di teve, terus menyudutkan rekan-rekan satu partainya. Bahkan, beberapa petinggi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ikut jadi sasarannya tembaknya.

Kebebasannya memberikan pernyataan kepada media massa, patut dipertanyaan masyarakat. Pasalnya, aparat penegak hukum dan instansi terkait, hingga kini tak bisa menangkap. Bahkan, untuk sekedar melacak keberadaannya. Tapi pada prinsipnya, semua ini menunjukkan betapa demokrasi di Indonesia berkembang ke bentuk demokrasi kriminal.

Terlepas dari betul atau tidaknya dari pernyataan Nazaruddin, tapi prinsip pola pernyataannya itu menunjukkan fakta adanya kriminalisasi dalam praktik demokrasi. Hal itu disampaikan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) pada acara Seminar Dialog Kebangsaan "Jati Diri Bangsa dalam Perspektif Sosial, Politik dan Hukum", Rabu (20/7).

Mahfud menyampaikan ketidakmengertiannya perihal kesulitan aparat negara, seperti polisi dan kejaksaan serta Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) bersama Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) untuk melaksanakan kewajibannya menangkap Nazaruddin.

"Bagaimana bisa sulit dinyatakan dicari, sementara setiap hari Nazaruddin bisa dihubungi dan ditelepon oleh wartawan dengan begitu mudahnya? Bahkan, dia bisa berpidato di dua media televisi, terbukti dia demikian gampang dicari. Jadi bagaimana bisa dinyatakan sulit dicari?" ujarnya seperti dikutip dari laman kompas.com.

Mahfud menjelaskan, meski pernyataan-pernyataan Nazaruddin di media tak bisa diterima sebagai kebenaran atau fakta hukum, tapi melalui itu bisa ditemukan berbagai gejala yang bisa jadi memiliki dasar kebenaran sebagai pengalaman pribadi Nazaruddin. Jika memang benar, hal itu bisa mencerminkan bentuk-bentuk praktik komunikasi dan transaksi di antara aktor politik di dalam tubuh Partai Demokrat dan kaitannya dengan aparat birokrasi, yakni praktik ‘sandera-menyandera melalui suap’ dan ‘persekot suap’ pengaturan proyek APBN.

“Dana itu dibagi pada PT tertentu yang berhubungan dengan Partai Demokrat. Demokrasi kriminal ini sudah demikian buruk, sehingga merusak sendi-sendi kebangsaan. Tapi semua itu bisa terbongkar, kalau aparat berwenang mampu menangkap dan memulangkan Nazaruddin untuk menjalani proses hukum di Indonesia,” ujar Mahfud.

Dalam kesempatan terpisah, pakar hukum pidana Chairul Huda mengatakan, BlackBerrry messenger (BBM) Nazaruddin belum dapat dijadikan bukti untuk menidaklanjuti dugaan keterlibatan Ketua Umum PD Anas Urbaningrum. Namun, bila keterangan itu disampaikan Nazaruddin kepada penyidik, baik sebagai sanksi maupun sebagai tersangka, orang-orang yang disebutkannya itu diduga terlibat dan harus dilakukan pemeriksaan.

“Pernyataan Nazaruddin di BBM hanya bersifat testimoni dan belum dapat dijadikan bukti hukum. Berbeda kalau (Nazaruddin) sudah jadi tersangka atau saksi dalam penyidikan serta pengadilan, pernyataannya itu dapat dijadikan dasar penyidik memanggil serta memeriksa pihak-pihak yang disebut Nazaruddin tersebut. Setelah itu, penyidik melengkapinya dengan alat-alat bukti, agar bisa menjerat mereka yang diduga terlibat,” tandasnya.
Sedangkan mengenai sayembara penangkapan Nazarudin yang berhadiah Rp 100 juta itu, jelas Chairul, dalam tradisi hukum sayembara atau hadiah dalam seseorang yang membantu penegakan hukum memang sudah lama ada.

Tetapi hal itu diselengarakan penegakan hukum sendiri. Ada yang namanya premi hadiah atas jasa masyarakat yang membantu mengungkap sebuah kasus korupsi. “Tapi sebaiknya yang melakukan penangkapan adalah penegak hukum, karena memiliki wewenang itu. Namun, itu bagian dari tugasnya bukan sayembara,” ujarnya.

Jika membuat sebuah sayembara spektakuler, lanjut Chairul, berita itu tidak masalah. Tapi jika hal itu ditunjukkan untuk penegakan hukum, boleh-boleh saja dilakukan. Namun, wewenang penangkapan tetap ada di tangan petugas yang bewajib dalam hal ini kepolisiaan. “Jika masyarakat awam yang menangkap Nazaruddin, apa mereka tahu dimana keberadaannya. Yang harus diingat adalah tersangka juga harus dilindungi secara hukum,” jelas ketua program magister ilmu hukum UMJ tersebut.(biz)



 
   Berita Terkait > Demokrasi
 
  Kontroversi Presiden RI, Pengamat: Jokowi Mau Membunuh Demokrasi Indonesia!
  Jangan Golput, Partisipasi Generasi Muda di Pemilu Penentu Indeks Demokrasi
  Yanuar Prihatin: Sistem Proporsional Tertutup Bahayakan Demokrasi
  Peneliti BRIN Ungkap Demokrasi Tak Lagi Sehat Sejak Maraknya 'Buzzer' di Medsos
  Jelang Tahun 2023, Fadli Zon Berikan Dua Catatan Kritis Komitmen Terhadap Demokrasi
 
ads1

  Berita Utama
Pengadilan Tinggi Jakarta Menghukum Kembali Perusahaan Asuransi PT GEGII

Presidential Threshold Dihapus, Semua Parpol Berhak Usulkan Capres-Cawapres

Kombes Donald Simanjuntak Akhirnya Dipecat dari Polri Buntut Kasus DWP

Desak DPR Bela Hak Konsumen, Korban Meikarta Tetap Gelar Aksi Meski Diguyur Hujan

 

ads2

  Berita Terkini
 
Jangan Lupakan Pesantren dan Madrasah Jadi Penerima Manfaat Program Makan Bergizi Gratis

Pemerintah Tarik Utang Rp 85,9 Triliun Lebih Awal untuk Biayai Anggaran 2025

DPR dan Pemerintah Sepakat BPIH 2025 Sebesar Rp 89,4 Juta, Turun Dibandingkan 2024

Kabar Terkini Sengketa Kepemilikan Akun Lambe Turah

Pengadilan Tinggi Jakarta Menghukum Kembali Perusahaan Asuransi PT GEGII

ads3
 
PT. Zafa Mediatama Indonesia
Kantor Redaksi
Jl. Fatmawati Raya No 47D Lt.2
Cilandak - Jakarta Selatan 12410
Telp : +62 21 7493148
+62 85100405359

info@beritahukum.com
 
Beranda | Tentang Kami | Partner | Disclaimer | Mobile
 
  Copyright 2011 @ BeritaHUKUM.com | V2