JAKARTA, Berita HUKUM - Mahkamah Konstitusi (MK) diwakili Panitera Muda II, Muhidin menerima kunjungan Mahasiswa Fakultas Syariah Institut Islam Nahdlatul Ulama (INISNU), Jepara di ruang Konferensi Pers, lantai 4, Gedung MK, Jumat (25/1). Muhidin dalam kesempatan itu juga memberikan materi seputar MK.
Kunjungan mahasiswa Fakultas Syariah INISNU sejatinya dimulai pukul 08:00 WIB. Namun, karena keterlambatan rombongan mahasiswa tersebut, acara baru dimulai sekitar pukul 11:00 WIB. Karena terbentur dengan jam salat Jumat, pertemuan tersebut berjalan singkat, yakni sekitar satu jam saja. Meski begitu, Muhidin menyampaikan materi seputar MK dengan cukup lengkap serta dibumbui dengan pertanyaan-pertanyaan dari para mahasiswa.
Memulai paparannya, Muhidin menyampaikan bahwa setelah perubahan UUD 1945, kedudukan lembaga negara di Indonesia menjadi sejajar. Bila dulu ada lembaga tertinggi dan lembaga tinggi, saat ini semua lembaga tidak ada yang memilki kekuasaan lebih besar dari lembaga lainnya. “Sekarang MK sejajar dengan MPR. Sekarang yang membedakan hanya tugasnya. MPR memiliki kewenangan mengubah UUD, sedangkan MK yang memiliki tugas untuk menjaga dan menafsirkan produk MPR itu,” jelas Muhidin di hadapan sekitar 70 mahasiswa berjaket almamater warna biru muda itu.
Sesuai ketentuan UUD 1945, tepatnya Pasal 24C, MK memiliki empat kewenangan dan satu kewajiban. Kewenangan MK, yaitu berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Sedangkan satu kewajiban yang harus dilakukan MK, yaitu wajib memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.
“Untuk Sengketa Kewenangan antar Lembaga Negara (SKLN), hanya lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945 yang bisa mengajukan permohonan ke MK. Kalau seperti KPK itu kan kewenangannya tidak diberikan oleh UUD 1945 kan? Jadi tidak bisa mengajukan SKLN ke MK. Tapi, kalau KPK merasa hak konstitusionalnya dirugikan oleh suatu undang-undang, KPK bisa mengajukan permohonan Pengujian Undang-Undang,” urai Muhidin sembari menjawab pertanyaan salah satu mahasiswa.
Muhidin juga menjelaskan bahwa MK merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman, selain Maahkamah Agung (MA). Berbeda dengan MA yang memiliki cabang di daerah, MK hanya ada satu yaitu di ibu kota negara, Jakarta. Dengan kata lain, MK merupakan pengadilan di tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final mengenai perkara-perkara konstitusional. “Jadi kalau orang yang berperkara di MK, apa pun yang diputus MK, dia harus menerimanya. Tidak ada upaya hukum lainnya sesudah itu (sesudah putusan MK, red),” tutur Muhidin.
Muhidin juga menjelaskan bahwa Hakim Konstitusi di MK terdiri dari sembilan orang. Kesembilan orang tersebut dipilih masing-masing tiga orang dari DPR, MA, dan presiden. Meski dipilih oleh ketiga lembaga tersebut, hakim konstitusi tetap independen dalam menjalankan tugasnya. Hakim konstitusi tidak bisa diintervensi oleh siapa pun dan tidak memiliki hubungan lagi dengan lembaga pengusulnya.
Di akhir acara, rombongan Mahasiswa INISNU memberikan cenderamata berupa kaligrafi dari kayu Jati.(yna/mk/bhc/opn) |