JAKARTA, Berita HUKUM - Kasus penjualan kondensat yang merugikan negara Rp 2 triliun terus bergulir. Yang mengejutkan mantan Kepala BP Migas Raden Priyono menyebut adanya keterlibatan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Priyono mengatakan JK lah yang memutuskan PT Trans Pacific Petrochemical Indotama (TPPI) yang mengalami kesulitan finansial harus dipasok kondensat.
“Di rapat itu disebut PT TPPI harus beroperasi kembali. Jadi harus disuplai kondensat,” kata JK yang memimpin rapat penunjukkan langsung PT TPPI pada Mei 2008.
Meski Priyono mengatakan adanya keterlibatan JK yang memutuskan TPPI harus dipasok kondensat namun, Mabes Polri menepis pernyataan tersangka dugaan korupsi dan pencucian uang penjualan kondensat bagian negara yang merugikan negara Rp 2 triliun tersebut.
"Tidak ada persetujuan dari Pak JK," bantah Direktur Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus.
Untuk mendalami kasus ini Mabes Polri meminta BPK yang diminta Mabes untuk melakukan perhitungan kerugian negara di kasus kondesat ini. “BPK telah menerima permintaan Bareskrim,” ujar Juru Bicara BPK, R. Yudi Ramdan, Jumat (19/6).
Di tempat terpisah, Anggota VII BPK achsanul Qosasih mengatakan bahwa, akar permasalahan kasus kondensat ini terletak pada cara pembayaran yang tidak benar. “Masalahnya dicara pembayaran dan pelaksanaan. Ini berpotensi merugikan negara karena TPPI tidak bayar jatah yang dikirim SKK,” katanya.
Lebih lanjut Achsanul mengatakan bahwa, pembayaran tersebut yang mengakibatkan piutang yang berpotensi merugikan negara hingga US$ 139 juta atau hamir Rp 2 triliun itu.
Dalam kasus penjualan kondensat jatah negara ini, Bareskrim Polri telah menetapkan tiga tersangka yakni mantan Kepala BP Migas Raden Priyono (RP), mantan Deputi Finansial Ekonomi dan Pemasaran BP Migas Djoko Harsono (DH), serta bos TPPI Honggo Wendratmo (HW). (FN – 09/fastnewsindonesia/bh/sya) |