Beranda | Berita Utama | White Crime | Cyber Crime | EkBis | Opini | INDEX Berita
Eksekutif | Legislatif | Gaya Hidup | Selebriti | Nusantara | Internasional | Lingkungan
Politik | Pemilu | Peradilan | Perdata| Pidana | Reskrim
Eksekutif    
Hubungan Industrial
MPBI Tolak Upah Murah, Rekomendasi Depenas
Saturday 23 Jun 2012 03:18:01
 

Demo buruh tutut kenaikan upah. (Foto: Ist)
 
JAKARTA (BeritaHUKUM.com) – Nasib buruh Indonesia dari tahun ke tahun tidak mengalami perubahan, walaupun kebijakan pengupahan berganti-ganti, tetap saja nasib buruh tetap miskin. Sejak politik upah murah, dengan ditetapkan Upah Minimum Regional (UMR) pada tahun 1980 dengan standar Kebutuhan Fisik Minimum (KFM) 80.

Kamuflase penggantian istilah KFM menjadi Kebutuhan Hidup Minimum (KHM), pada tahun 1995 menghilangkan 28 item komponen barang dan jasa untuk pekerja buruh lajang sampai dengan anak 3, menjadi 52 komponen hanya untuk pekerja lajang.

Kondisi ini semakin diperparah dengan hadirnya Permenaker No.17 tahun 2005, KHM diganti menjadi Kebutuhan Hidup Layak (KHL) menjadi 46 komponen KHL. Hal ini menyebabkan terjadinya pemisikinan sistematis dari negara terhadap kaum buruh/pekerja Indonsia.

Hal tersebut di ungkapkan Muhamad Rusdi, selaku Sekjen KSPI dikantornya, Jumat (22/06). Lebih lanjut Rusdi juga mengatakan bahwa Permenaker No.17 tahun 2005 harus direvisi karena memuat kelemahan mendasar antara lain, upah minimum hasil dari Permenaker No.17/2005 hanya diperuntukan bagi pekerja lajang. Disisi lain, lanjutnya jumlah komponen secara kuantitas (jumlah) dan kualitas sudah tidak lagi merepresentasikan kebutuhan riil buruh saat ini.

Inflasi hanya dihitung inflasi pada tahun survey dilakukan, sebagai contoh, untuk penghitungan UMK tahun 2012, penghitungan kenaikan inflasi hanya diperlakukan pada saat tahun berjalan. Sementara ketika survey dilakukan/sebelum UMK ditetapkan yakni inflasi pada tahun 2011 saja, padahal UMK diberlakukan untuk tahun 2012. Hal ini yang menyebabkan setiap tahunnya upah buruh secara riil tidak mengalami kenaikan.

Digunakannya frase pentahapan yang diatur dalam pasal 5 Permenaker No.17/2005, menyebabkan rata-rata penetapan upah minimum di 33 provinsi di Indonesia terhadap pencapaian KHL selama 7 tahun hanya mencapai 88,9%. Alias buruh dipaksa untuk tetap hidup miskin.

Dengan upah minimum saat ini penghasilan buruh hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup selama 3 minggu, sehingga kaum buruh Indonesia selalu terjerat hutang, yang berdampak menurunkan produktifitas kerja.

Kebijakan Politik Upah Murah saat ini, ujar Rusdi menciptakan ekploitasi/perbudakan zaman moderen, karena upah di level Top Management melebihi rasio 70 kali lipat dari Upah buruh terendah. Fenomena negara justru bangga atas redahnya upah murah di Indonesia. Hal ini terbukti dari pernyataan pemerintah melalui Kementerian Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) untuk menarik investor asing, yakni ; upah buruh pusat-pusaturban masih relatif rendah, bahkan jika dibandingkan dengan pusat urban yang telah menarik banyak investasi seperti di China dan India.

Fakta ini menunjukan pemerintah masih terus berupaya untuk menerapkan kebijakan upah murah yang tidak ingin mensejahterakan buruh/pekerja.

Niat revisi ini bukan political will pemerintah, tetapi atas desakan serikat pekerja/buruh yang melakukan pemogokan di beberapa wilayah kawasan industri. Sehingga proses revisi sifatnya hanya retorika belaka. Hal ini dapat dibuktikan dengan timbulnya masalah dalam proses revsi, antara lain : penyebaran kuisioner dan responden tidka berdasarkan wilayah penyebaran kawasan industri, seperti Bekasi, Tangerang, Batam, Sidoarjo,dll. Responden survey didominasi pekerja di sektor industri Usaha Kecil Menengah (UKM).

Dari 30 juta buruh formal Indonesia hanya diambil sample 3.000 responden (1%) dan hanya 724 (24%) dari total responden yang digunakan. Hanya akan ada penambahan 4 komponen item yakni, deodorant, setrika, ikat pinggang, dan kaos kaki. Hal ini disebabkan kuesioner yang disebarkan kepada respoden hanya memberikan kesempatan untuk menambahkan 4 komponen tambahan, selain yang sudah dicantumkan dalam Permenaker No.17/2005. Salah dalam menerapkan metode survey yang berakibat pada hasil survey menjadi cacat ilmiah.

Apabila revisi ini tetap disahkan oleh Pemerintah, sama dengan upaya pemerintah untuk terus memaksa jutaan pekerja/buruh di Indonesia untuk terus hidup dalam jurang kemiskinan. Revisi hanya sebagai topeng pemerintah untuk pencitraan politik semata, melalui revisi tersebut terlihat bahwa pemerintah tetap tidak ingin meningkatkan kesejahteraan buruh/pekerja.

Hal ini menunjukan masih belum adanya niat baik dari negara untuk melindungi buruh/pekerja melalui kebijakan politik pengupahan. Padahal konstribusi kaum pekerja cukup signifikan karena menjadi tulang punggung dalam menempatkan Indonesia masuk dalam negara G20.

Kenaikan upah, harus ditujukan dengan kenaikan upah buruh secara riil, sebagai faktor utama untk meningkatkan daya beli. Kenaikan tersbeut secara langsung berdampak positif dalam upaya menigkatkannya pola konsumsi secara domestik, secara koheren akan diikuti dengan semakin meningkatnya pertumbuhan ekonomi negara.

Atas dasar itulah, Majelis Pekerja Buruh Indonesia (MPBI), menolak dengan tegas hasil pembahasan Dewan Pengupahan Naisonal yang akan dibahas dalam LKS Tripatit Nasional, karena hanya mengusulkan 4 item tambahan komponen KHL, dalam rencana revisi Permenaker No.17/2005.

Menuntut revisi Permanaker No.17/2005 dari 46 item Komponen KHL menjadi 122 item komponen KHL, sesuai hasil penelitian yang dilakukan oleh lembaga penelitian Akatiga bersama dengan SPN, dan KSBSI Garteks. Khusus untuk perumahan, disetarakan dengan cicilan rumah tipe 28/72.

Sekjen KSPI, Muhamad Rusdi juga menegaskan, Bila Menteri tidak merubah komponen KHL menjadi minimal 122 komponen, maka Majelis Pekerja/Buruh Indonesia (MPBI) yang nota bene merupakan wadah bergabungnya tiga konfederasi besar (KSPI, KSBSI dan KSPSI), beserta serikat pekerja/buruh non Konfederasi, akan mengorganisir seluruh pekerja/buruh di seluruh Indonesia untuk melakukan Aksi Nasional secara masiive sampai tuntutan dipenuhi. Revisi Kepmen No.49/2004 tentang struktur dan skala upah mewajibkan setiap perusahaan menerapkan struktur skala upah dengan ketentuan sanksi pidana. (bhc/rat)



 
   Berita Terkait > Hubungan Industrial
 
  Sengketa UD Sakura Vs Makaminang Berlanjut
  Buruh dari Jawa Timur Akan Nginep dan Duduki Kemenakertrans
  MPBI Tolak Upah Murah, Rekomendasi Depenas
  “Tolak Anjuran Mediator yang Tidak Berakal Sehat”
 
ads1

  Berita Utama
Jokowi Akhirnya Laporkan soal Tudingan Ijazah Palsu ke Polisi, 5 Inisial Terlapor Disebut

Polri Ungkap 72 Kasus Destructive Fishing, Selamatkan Kerugian Negara Rp 49 Miliar

3 Anggota Polri Ditembak Oknum TNI AD di Way Kanan Lampung, Menko Polkam Minta Pelaku Dihukum Berat

Tolak Tawaran Jadi Duta Polri, Band Sukatani Akui Lagu "Bayar Bayar Bayar" Diintimidasi

 

ads2

  Berita Terkini
 
Jokowi Akhirnya Laporkan soal Tudingan Ijazah Palsu ke Polisi, 5 Inisial Terlapor Disebut

Polri Ungkap 72 Kasus Destructive Fishing, Selamatkan Kerugian Negara Rp 49 Miliar

3 Anggota Polri Ditembak Oknum TNI AD di Way Kanan Lampung, Menko Polkam Minta Pelaku Dihukum Berat

BNNP Kaltim Gagalkan Peredaran 1,5 Kg Sabu di Samarinda dan Balikpapan

Kasus Korupsi PT BKS, Kejati Kaltim Sita Rp2,5 Milyar dari Tersangka SR

ads3
 
PT. Zafa Mediatama Indonesia
Kantor Redaksi
Jl. Fatmawati Raya No 47D Lt.2
Cilandak - Jakarta Selatan 12410
Telp : +62 21 7493148
+62 85100405359

info@beritahukum.com
 
Beranda | Tentang Kami | Partner | Disclaimer | Mobile
 
  Copyright 2011 @ BeritaHUKUM.com | V2