JAKARTA, Berita HUKUM - Apabila dalam vonis Pengadilan Tinggi sudah menyebut jenis dan lamanya hukuman penjara, maka tanpa harus ada perintah “harus masuk” dalam vonis Mahkamah Agung (MA), dengan sendirinya terpidana harus ditahan atau dimasukkan ke penjara,” demikian tegas Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD, Selasa (05/03), dalam konferensi pers yang berlangsung di lantai 15 gedung MK, terkait polemik yang terjadi terhadap putusan MK nomor 69/PUU-X/2012, dalam pengujian pasal 197 ayat (1) huruf k Undang-Undang (UU) No. 81 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
Bersama Hakim Konstitusi Muhammad Alim, Ahmad Fadlil Sumadi, Mahfud menegaskan bahwa MK harus menjelaskan persoalan ini kembali, karena pernyataan sejumlah terpidana kasus korupsi yang menyatakan menolak dieksekusi oleh Kejaksaan Agung (Kejagung), dengan berlindung pada putusan MK terkait syarat penahanan terpidana. Menurut Mahfud, putusan Mk yang diucapkan padda 22 November 2012 silam tersebut justru memperkuat dan membenarkan tindakan Kejagung yang sudah berlangsung sebelum keluarnya putusan MK.
Diungkapkan Mahfud, “Apa pun putusan MK selalu dijadikan senjata, dan saat ini ada yang menghalang-halangi putusan MA sehingga Kejagung kesulitan.” Vonis MK tersebut bukan memberlakukan hukum baru, melainkan menegaskan bahwa yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung selama ini sudah benar, yaitu memasukkan ke penjara begitu ada vonis MA, meskipun tidak ada perintah “harus masuk”. Oleh sebab itu, berlakunya vonis MK tidak ada kaitannya dengan soal berlaku surut atau tidak berlaku surut, sebab MK justru memperkuat yang lama.
Menurut Mahfud, adalah salah jika menggunakan vonis MK sebagai alasan, karena MK justru menyatakan mereka para terpidana tersebut harus segera dieksekusi. “Kalau bermain hukum jangan pakai putusan MK, karena kami MK akan melawan,” Mahfud mengingatkan.
Sementara Hakim Konstitusi Muhammad Alim menjelaskan, kasasi merupakan serapan dari bahasa Belanda kasatie, yang berarti pembatalan, kalau MA menyatakan menolak kasasi berarti tidak ada pembatalan terhadap hukuman pidana seseorang. “MK tidak berwenang membatalkan putusan MA, yang selama ini ada tetap berlaku dan tidak batal demi hukum,” ujar Alim.
Keterangan Alim juga diperkuat oleh Ahmad Fadlil Sumadi, yang menerangkan latar belakang pengujian UU Hukum Acara Pidana atau KUHAP di mana Yusril Ihza Mahendra menjadi kuasa hukum dalam perkara tersebut, dan dalam permohonannya pemohon meminta agar putusan MA yang tidak mencantumkan pasal 197 ayat (1) huruf k UU Hukum Acara Pidana yang berbunyi “perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan” dinyatakan tidak sah dan bertentangan dengan konstitusi.
Dijelaskan mantan Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Agama Yogyakarta itu, dalam putusannya MK menolak permohonan pemohon, namun MK perlu memberikan makna agar isi pasal 197 ayat (1) sejalan dengan ketentuan lain dalam UU tersebut.
Fadlil memperkuat keterangan Mahfud MD dan M. Alim, bahwa yang sudah dilaksanakan oleh MA dan Kejagung benar adanya, bahwa putusan MA yang tidak memuat syarat dalam pasal 197 ayat (1) huruf k tidak batal demi hukum.(ilh/mk/bhc/rby) |