JAKARTA, Berita HUKUM - Mahkamah Konstitusi menolak untuk seluruhnya permohonan uji materiil Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (UU MA) dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU Kekuasaan Kehakiman). Putusan dengan Nomor 108/PUU-XIV/2016 tersebut dibacakan oleh Ketua MK Arief Hidayat pada Rabu (26/7) di Ruang Sidang Pleno MK.
Pemohon adalah Abdul Rahman C. DG Tompo. Ia mendalilkan hak konstitusionalnya terlanggar dengan berlakunya dua pasal, yakni Pasal 66 ayat (1) UU MA dan Pasal 24 ayat 2 UU Kekuasaan Kehakiman. Keduanya mengatur bahwa Peninjauan Sekali (PK) bagi perkara perdata hanya sekali. Pasal 66 ayat (1) UU MA menyatakan "Permohonan peninjauan kembali dapat diajukan hanya 1 (satu) kali". Sementara Pasal 24 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman menyatakan "Terhadap putusan peninjauan kembali tidak dapat dilakukan peninjauan kembali".
Pemohon menilai dua pasal tersebut bertentangan dengan tiga putusan MK sebelumnya mengenai PK. Akan tetapi, ketiga putusan tersebut hanya berlaku untuk perkara pidana, bukan perkara perdata seperti yang dialami Pemohon. Hal tersebut yang membuat Pemohon merasa terdiskriminasi.
Menanggapi permohonan tersebut, Mahkamah menyatakan untuk perkara di luar perkara pidana, termasuk perkara perdata yang dimohonkan Pemohon, pemberlakuan PK tetap perlu dibatasi. Hal tersebut didasarkan pendapat Mahkamah dalam Putusan Nomor 16/PUU-VIII/2010, bertanggal 15 Desember 2010 tentang pengujian konstitusionalitas Pasal 66 ayat (1) UU MA dan Pasal 24 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman.
Mahkamah berpendapat apabila dibuka keleluasaan untuk mengajukan PK lebih dari satu kali untuk perkara selain pidana, akan mengakibatkan penyelesaian perkara menjadi panjang dan tidak akan pernah selesai. Hal tersebut akhirnya menimbulkan ketidakpastian hukum. Keadaan demikian bertentangan dengan asas litis finiri oportet (bahwa setiap perkara harus ada akhirnya) serta justru menimbulkan kerugian bagi para pencari keadilan. Terlebih lagi, Mahkamah menilai apabila PK bagi perkara selain pidana tidak dibatasi, akan berpotensi digunakan pihak-pihak yang berperkara untuk mengulur-ngulur waktu penyelesaian perkara dengan mencari-cari novum baru. Hal tersebut bertujuan untuk menunda pelaksanaan eksekusi.
"Jika hal ini yang terjadi maka dapat dipastikan pemberian rasa keadilan bagi para pencari keadilan dalam perkara selain pidana akan menjadi ancaman yang serius, sebab keadaan demikian akan menimbulkan ketidakpastian hukum sekaligus ketidakadilan yang justru bertentangan dengan UUD 1945," ujar Hakim Konstitusi Suhartoyo membacakan pertimbangan hukum.
Berbeda halnya dengan PK dalam perkara pidana yang tujuannya adalah untuk mencari kebenaran materiil serta perlindungan HAM dari kesewenang-wenangan negara. Sehingga Mahkamah melalui putusan a quo menegaskan bahwa untuk perkara pidana harus ada perlakuan yang berbeda dengan PK bagi perkara lainnya. Berdasarkan hal tersebut, Mahkamah berpendapat, pembatasan PK hanya satu kali dalam perkara selain pidana, termasuk perkara perdata, sebagaimana yang diatur Pasal 66 ayat (1) UU MA dan Pasal 24 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman adalah konstitusional. "Berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berpendapat permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut hukum," tandasnya.(Lulu Anjarsari/lul/MK/bh/sya) |