JAKARTA, Berita HUKUM - Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa pemilihan umum tidak serentak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Namun, pelaksanaan putusan MK ini baru akan berlaku pada Pemilu 2019 dan selanjutnya. Dengan kata lain, kelak Pemilu Presiden dan Wakil Presiden serta Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan (Pemilu Legislatif) digelar secara bersamaan. Demikian hal ini tertuang dalam Putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013 yang diajukan oleh Effendi Gazali.
“Pasal 3 ayat (5), Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 14 ayat (2), dan Pasal 112 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,” tegas Ketua MK Hamdan Zoelva, Kamis (23/1) sore, di Ruang Sidang Pleno MK. “Amar putusan dalam angka 1 tersebut di atas berlaku untuk penyelenggaraan pemilihan umum tahun 2019 dan pemilihan umum seterusnya.”
Dalam menentukan konstitusionalitas penyelenggaraan Pilpres apakah setelah atau bersamaan dengan penyelenggaraan Pemilu Legislatif, MK mempertimbangkan tiga hal pokok, yakni kaitan antara sistem pemilihan dan pilihan sistem pemerintahan presidensial, original intent dari pembentuk UUD 1945, efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan pemilihan umum, serta hak warga negara untuk memilih secara cerdas.
Menurut MK, penyelenggaraan Pilpres haruslah dikaitkan dengan rancang bangun sistem pemerintahan menurut UUD 1945, yaitu sistem pemerintahan presidensial. MK berpendapat, praktik ketatanegaraan hingga saat ini, dengan pelaksanaan Pilpres setelah Pemilu Legislatif ternyata tidak mampu menjadi alat transformasi perubahan sosial ke arah yang dikehendaki. Hasil dari pelaksanaan Pilpres setelah Pemilu Legislatif tidak juga memperkuat sistem presidensial yang hendak dibangun berdasarkan konstitusi. Mekanisme saling mengawasi dan mengimbangi (checks and balances), terutama antara DPR dan Presiden tidak berjalan dengan baik.
“Pelaksanaan Pilpres setelah Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan tidak memberi penguatan atas sistem pemerintahan yang dikehendaki oleh konstitusi. Oleh karena itu, norma pelaksanaan Pilpres yang dilakukan setelah Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan telah nyata tidak sesuai dengan semangat yang dikandung oleh UUD 1945 dan tidak sesuai dengan makna pemilihan umum yang dimaksud oleh UUD 1945, khususnya dalam Pasal 22E ayat (1) UUD 1945,” papar Hakim Konstitusi Fadlil Sumadi, seperti yang dilansir dari situs mahkamahkonstitusi.go.id.
Begitupula jika ditilik berdasarkan original intent dan penafsiran sistematik. Fadlil mengungkapkan, apabila diteliti lebih lanjut makna asli yang dikehendaki oleh para perumus perubahan UUD 1945, dapat disimpulkan bahwa penyelenggaraan Pilpres adalah dilakukan serentak dengan Pemilu Legislatif. “Hal itu secara tegas dikemukakan oleh Slamet Effendy Yusuf sebagai salah satu anggota Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR RI yang mempersiapkan draft perubahan UUD 1945 yang mengemukakan bahwa para anggota MPR yang bertugas membahas perubahan UUD 1945 ketika membicarakan mengenai permasalahan ini telah mencapai satu kesepakatan,” tuturnya.
Dengan demikian, kata Fadlil, dari sudut pandang original intent penyusun perubahan UUD 1945, telah memiliki gambaran visioner mengenai mekanisme penyelenggaraan Pilpres, bahwa Pilpres diselenggarakan secara bersamaan dengan Pemilu Legislatif. MK menilai, hal ini telah pula sejalan dengan Pasal 22E ayat (2) UUD 1945.
“Dengan demikian menurut Mahkamah, baik dari sisi metode penafsiran original intent maupun penafsiran sistematis dan penafsiran gramatikal secara komprehensif, Pilpres dilaksanakan bersamaan dengan pemilihan umum untuk memilih anggota lembaga perwakilan. Menurut Mahkamah, dalam memaknai ketentuan UUD mengenai struktur ketatanegaraan dan sistem pemerintahan harus mempergunakan metode penafsiran yang komprehensif untuk memahami norma UUD 1945 untuk menghindari penafsiran yang terlalu luas, karena menyangkut desain sistem pemerintahan dan ketatanegaraan yang dikehendaki dalam keseluruhan norma UUD 1945 sebagai konstitusi yang tertulis,” tulis MK dalam putusan setebal 92 halaman.
Sejalan dengan pertimbangan tersebut, menurut Fadlil, penyelenggaraan Pilpres dan Pemilu Legislatif secara serentak memang akan lebih efisien, sehingga pembiayaan penyelenggaraan lebih menghemat uang negara yang berasal dari pembayar pajak dan hasil eksploitasi sumber daya alam serta sumber daya ekonomi lainnya.
“Hal itu akan meningkatkan kemampuan negara untuk mencapai tujuan negara sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945 yang antara lain untuk memajukan kesejahteraan umum dan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Selain itu, Pilpres yang diselenggarakan secara serentak dengan Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan juga akan mengurangi pemborosan waktu dan mengurangi konflik atau gesekan horizontal di masyarakat,” imbuhnya.
Pemilu 2014 Tetap Sah
Di samping itu, MK juga mempertimbangkan dampak putusan ini terhadap pelaksanaan Pemilu 2014. Karena menurut MK, jika putusan ini dilaksanakan pada tahun ini, maka dapat menyebabkan kekacauan dan menimbulkan ketidakpastian hukum yang nantinya justru bertentangan dengan UUD 1945.
“Jika aturan baru tersebut dipaksakan untuk dibuat dan diselesaikan demi menyelenggarakan Pilpres dan Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan secara serentak pada tahun 2014, maka menurut penalaran yang wajar, jangka waktu yang tersisa tidak memungkinkan atau sekurang-kurangnya tidak cukup memadai untuk membentuk peraturan perundang-undangan yang baik dan komprehensif,” papar Fadlil.
MK berpendapat memang diperlukan waktu untuk menyiapkan budaya hukum dan kesadaran politik yang baik bagi warga masyarakat, maupun bagi partai politik untuk mempersiapkan diri dan melaksanakan agenda penting ketatanegaraan. “Menurut Mahkamah penyelenggaraan Pilpres dan Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan tahun 2009 dan 2014 yang diselenggarakan secara tidak serentak dengan segala akibat hukumnya harus tetap dinyatakan sah dan konstitusional.”
Seharusnya Ditolak
Dalam putusan ini Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati mengajukan pendapat berbeda (dissenting opinion). Pada intinya, menurut Maria, seharusnya permohonan pemohon dalam perkara ini ditolak oleh MK. Sebab, pokok perkara yang diajukan oleh Pemohon merupakan kebijakan hukum terbuka (openend legal policy) pembentuk undang-undang.
“Terlepas dari kemungkinan timbulnya berbagai kesulitan yang akan dihadapi dalam penyelenggaraan Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan dan Pilpres secara terpisah seperti yang dilaksanakan saat ini atau yang dilaksanakan secara bersamaan (serentak) seperti yang dimohonkan Pemohon, hal itu bukanlah masalah konstitusionalitas norma, tetapi merupakan pilihan kebijakan hukum pembentuk Undang-Undang. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, saya berpendapat, permohonan Pemohon haruslah ditolak untuk seluruhnya,” tutupnya.(MK/Dodi/mh/bhc/sya) |