JAKARTA, Berita HUKUM - Mahkamah Konstitusi menolak permohonan PT Inanta Timber atas uji materi UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang kehutanan sebagaimana telah diubah UU No.19 Tahun 2004 yang meminta Mahkamah menghapus ketentuan terkait larangan bagi perusahaan pemilik izin usaha melakukan kegiatan yang menimbulkan kerusakan hutan. Putusan perkara Nomor98/PUU-XIII/2015 tersebut diucapkan Ketua MK Arief Hidayat didampingi delapan hakim konstitusi lainnya.
"Mengadili, menyatakan, menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya," ujar Arief di ruang sidang pleno MK, Senin (7/3).
Mahkamah menyakini ketentuan Pasal 50 ayat (2) tersebut telah sesuai dengan prinsip kelestarian hutan dan pembangunan nasional. "Norma yang berisi larangan bagi pemegang izin pemanfaatan hutan untuk melakukan kegiatan yang menimbulkan kerusakan hutan telah sesuai prinsip-prinsip pembangunan nasional dalam UUD 1945, yaitu tetap melestarikan lingkungan dan melakukan pembangunan yang berkelanjutan," ucap Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati membacakan pertimbangan hukum.
Lebih lanjut Mahkamah menguraikan bahwa norma dalam Pasal 50 ayat (2) UU Kehutanan adalah norma yang sangat jelas melarang pemegang izin melakukan kegiatan yang menimbulkan kerusakan hutan. Subyek dalam Pasal tersebut adalah para pemegang izin, sehingga walau pemegang izin berhak melakukan kegiatan pemanfaatan hutan dan berhak memperoleh manfaat dari hasil usahanya, namun mereka tidak serta merta dapat berbuat sekehendak hati.
Sebaliknya, jika Pasal 50 ayat (2) UU 41 Tahun 1999 dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, Mahkamah mengkhawatirkan akan terjadi kekosongan hukum dengan tidak adanya larangan untuk melakukan kegiatan yang menimbulkan kerusakan hutan.
Dalam amar putusannya, Mahkamah juga berpendapat bahwa instrumen izin pada pengelolaan dan pemanfaatan hutan merupakan instrumen pengendalian yang mengarahkan pengelolaan dan pemanfaatan kawasan hutan untuk kepentingan ekonomi, kepentingan sosial, dan kepentingan lingkungan. Dengan demikian, pengendalian pengelolaan dan pemanfaatan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat 2 UU Kehutanan sangat relevan dalam rangka pelaksanaan prinsip penguasaan oleh negara terhadap bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya. "Permohonan Pemohon yang meminta agar pasal 50 ayat 2 UU 41/1999 dihapuskan justru tidak sejalan dengan semangat pelestarian hutan," imbuh Maria.
Menurut Mahkamah, pihak yang diberi izin dan hak pengelolaan hutan bukan berarti memiliki kebebasan untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi hutan tanpa batas. Justru pihak yang memiliki izin dan hak pengelolaan hutan harus mengikuti aturan perundang-undangan agar kegiatan pengelolaan hutan tidak menimbulkan kerusakan hutan. Dengan demikian, dalil Pemohon yang menyatakan ketentuan Pasal 50 ayat 2 UU Kehutanan menciptakan ketidakpastian hukum adalah tidak beralasan menurut hukum.
Sebelumnya, PT Inanta Timber & Trading Coy Ltd yang diwakili oleh Sofandra selaku direktur utama merasa UU Kehutanan telah menimbulkan ketidakpastian hukum dan multitafsir yang merugikan khususnya sepanjang frasa "kegiatan yang menimbulkan kerusakan hutan," karena tidak memberikan penjelasan dan penjabaran lebih lanjut mengenai kegiatan yang menimbulkan kerusakan hutan. Hal tersebut menurut Pemohon menimbulkan ketidakpastian hukum dan rawan menimbulkan kesewenang-wenangan aparat penegak hukum.(Julie/lul/mk/bh/sya) |