JAKARTA, Berita HUKUM - Mahkamah Agung (MA) yang diketahui telah mengabulkan gugatan Kejaksaan Agung (Kejagung) dengan menyatakan Yayasan Supersemar harus membayar sebesar 75 persen dari Rp185 miliar, yakni sebesar Rp139 miliar.
Harifin Andi Tumpa selaku Majelis Kasasi juga mewajibkan Yayasan Supersemar membayar sebesar 75 persen dari USD 420 juta, yakni USD 315 juta. Dengan demikian nilai total yang harus dibayar Yayasan Supersemar sesuai putusan MA adalah USD 315 juta dan Rp139 miliar atau mencapai Rp3,17 triliun.
Namun terkait kasus ini, Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan dinilai lambat Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara (Jamdatun) ST Burhanuddin, gerah dan mengatakan, pihaknya bakal menyurati PN Jaksel untuk segera memulai sidang Peninjauan Kembali (PK) Yayasan Supersemar yang diajukan Kejagung.
"Kami akan menyurati karena kami tidak bisa menunggu lama-lama," kata Burhanuddin, di Jakarta, Jumat (3/1).
Kejagung mengajukan PK atas putusan kasasi Yayasan Supersemar pada 9 September 2013. PK diajukan karena adanya kesalahan ketik dalam putusan kasasi dimana seharusnya panitera MA mencantumkan Rp139 miliar sebagaimana tuntutan penuntut umum namun yang ditulis Rp139 juta.
Burhanuddin mengatakan, bahwa alasan yang diterima pihaknya dari PN Jaksel mengenai belum dimulainya sidang PK karena, pengadilan masih menunggu kontra memori dari Yayasan Supersemar milik Presiden ke-2 Indonesia Soeharto.
"Katanya masih menunggu kontra memori dari Yayasan Supersemar. Kalau begini kapan mulai sidangnya," ujarnya.
Sebelumnya pada tahun 2010 MA telah memutuskan bahwa Soeharto sebagai tergugat I dan Yayasan Beasiswa Supersemar sebagai tergugat II bersalah karena telah melakukan perbuatan melawan hukum dan harus membayar denda senilai Rp3,17 triliun.
Kendati demikian, Kejagung baru menerima salinan putusannya tahun 2013. Itu juga tidak bisa langsung dieksekusi karena adanya kesalahan ketik.(bhc/mdb) |