JAKARTA, Berita HUKUM - Hampir di seluruh belahan negara, peringatan hari lingkungan hidup dirayakan oleh banyak kalangan dengan berbagai aktifitas kampanye penyelamatan lingkungan. Sebagai sebuah kesadaran publik, tentulah ini menjadi angin segar, bahwa isu lingkungan hidup dapat menjadi isu utama yang menjadi pembahasan di berbagai sektor dan lapisan masyarakat, Rabu (5/6).
Sayangnya kepedulian publik terhadap lingkungan hidup, tidak dibarengi dengan political willdari pengurus negara untuk merubah watak pembangunannya yang tetap bertumpu pada industri ekstraktif yang merusak lingkungan hidup dan menghancurkan sumber kehidupan rakyat, utamanya petani yang sejatinya merupakan produsen pangan yang sesungguhnya. Kebijakan berupa Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup No. 32/2009 sebagai sebuah kebijakan lingkungan hidup yang paling progressif, tidak dilengkapi dengan kelembagaan negara yang secara sungguh-sungguh menjalankan mandatnya mulai dari eksekutif dibawah Kementrian Lingkungan Hidup, Legislatif dan juga aparat penegak hukumnya.
Kinerja kelembagaan negara dalam melindungi dan mengelola lingkungan hidup berada di angka merah. Demikian juga dengan perbaikan kerangka hukum dan kebijakan, kapasitas aparat penegakan hukum dan penegakan hukum lingkungan yang juga berada di titik terendah.
Yang ironi, isu lingkungan hidup kemudian dikooptasi oleh sistem ekonomi dan politik yang berwatak kapitalistik dan mendorongnya ke arah pasar dengan mekanisme perdagangan melalui kontrol lembaga perdagangan internasional.
Lingkungan hidup kemudian digeser menjadi komoditas pasar dan dimanfaatkan oleh korporasi untuk melanggengkan kekuasaan dan mengakumulasi keuntungan dari bisnis mereka yang rakus dan destruktif.
Situasi ini tidak lepas dari pemaknaan lingkungan hidup yang masih belum melihat isu lingkungan hidup sebaga hak asasi manusia. Lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagaimana yang diatur dalam Konstitusi merupakan hak hidup dan hak untuk hidup warga negara.
Kualitas lingkungan hidup yang buruk akan mempengaruhi kualitas hidup seseorang dan akan mengurangi esensi dari nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri. Direktur Eksekutif Nasional WALHI, Abetnego Tarigan menyatakan “dalam kerangka hak asasi manusia, utamanya pemenuhan terhadap hak atas lingkungan yang baik dan sehat tanggungjawabnya tetap ada di negara. Maka menjadi tanggungjawab negara untuk mendesak tanggungjawab korporasi atas kejahatan dan pengrusakan lingkungan hidup yang mereka lakukan”.
Yang semakin mengkhawatirkan, komunitas, gerakan rakyat dan aktifis pembela lingkungan hidup dan hak asasi manusia masih dihadapkan pada upaya kriminalisasi dan tindak kekerasan yang dilakukan oleh korporasi dan negara.
Penegakan hukum lingkungan yang diharapkan menjadi garda terakhir dalam upaya perlindungan lingkungan hidup, selalu takluk dan kalah dibawah kuasa modal dan kekuatan elit oligarki yang korup dan sistem politik yang transaksional.
Karenanya, pada peringatan hari lingkungan hidup ini, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia menyerukan agar warga negara melakukan berbagai upaya untuk memproteksi wilayahnya dari berbagai ancaman pengrusakan lingkungan hidup; publik mulai kritis pada kebijakan negara yang tidak berpihak kepada lingkungan hidup dan rakyat; mengelola konsumsinya dan bertindak sebagai konsumen yang kritis untuk mendorong tanggungjawab korporasi untuk merubah praktek buruk mereka dalam berusaha yang merusak lingkungan dan melanggar hak asasi manusia; serta publik menggunakan kekuatan politiknya untuk menentukan pemimpin negara, pemimpin daerah dan wakil rakyatnya untuk berpihak kepada lingkungan hidup dan sumber-sumber kehidupan rakyat.(wlh/bhc/rby) |