JAKARTA, Berita HUKUM - Kurang dari satu tahun, Indonesia akan menghadapi pesta demokrasi, yaitu Pemilihan Legislatif (Pileg) dan Pemilihan Presiden (Pilpres). Untuk itu, Wakil Ketua Komisi II DPR RI Herman Khaeron membeberkan beberapa tindakan kecil yang menurutnya memungkinkan terjadi tindakan kecurangan pada proses rekapitulasi suara.
"Pernah terjadi saat penghitungan suara listrik tiba-tiba padam," kata Herman dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Dirjen Dukcapil, Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Bawaslu di Gedung DPR RI Senayan, Jakarta, Rabu (30/8).
Ia juga mencontohkan kondisi di Tempat Pemungutan Suara (TPS), pada batas akhir pencoblosan surat suara pukul 13.00, saksi dibiarkan saja oleh panitia supaya jenuh dan tidak betah di area TPS. Bisa juga saksi diberi nasi kotak, agar saksi tersebut segera pulang ke rumah. Sedangkan di TPS tersebut masih tersisa surat suara siap digunakan untuk melakukan kecurangan.
"Kalau saja 70 persen masyarakat yang menggunakan hak pilihnya, masih ada sisa 30 persen ditambah 2,5 persen surat suara cadangan, ini menurut saya juga menjadi ruang kerawanan pelanggaran pemilu," tambah politisi Partai Demokrat ini.
Belum lagi permasalahan kunci kotak suara setiap saat bisa saja berubah dan dibuka. Ditambah lagi tempat menginapnya kotak suara yang terkadang luput dari pengawasan KPU dan Bawaslu terlebih di daerah pelosok Indonesia.
Politisi dapil Jawa Barat ini menambahkan KPU juga harus bisa mengantisipasi bila ditemukan adanya aktifitas pemanfaatan sisa surat suara serta menggeser suara. Pergeseran suara baik itu antar calon legislatif (caleg) dalam satu partai, bahkan mungkin juga dilakukan lintas partai yang tidak ada saksinya.
"Kalau boleh, saya mengusulkan agar KPU menganggarkan pemanfaatan Closed Circuit Television (CCTV) untuk ditempatkan di titik-titik rawan terjadi kecurangan," usul mantan Pimpinan Komisi VII DPR RI ini.
Sementara, proses yang paling krusial dalam Pemilihan Umum (Pemilu) adalah saat rekapitulasi surat suara. Saat itulah dituntut kecermatan dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan juga Badan Pengawasan Pemilihan Umum (Bawaslu) dalam mewujudkan pemilu yang beintegritas.
Herman Khaeron juga mengingatkan KPU dan Bawaslu untuk saling mengawasi persoalan rekapitulasi. Karena tidak ada jaminan jumlah perolehan suara setelah pencoblosan, sama dengan setelah dilakukan rekapitulasi di tingkat kecamatan dan kabupaten.
"Untuk itu saya ingin mendapatkan statement garansi dan jaminan bahwa prosedur ini sangat ketat, termasuk bagaimana moral obligasi para petugas KPU dan Bawaslu yang ada di lapangan," tegas Herman.
Politisi Partai Demokrat ini menceritakan pengalamannya pada Pemilihan Legislatif (Pileg) lalu, dimana saat itu ia memiliki data C1 pleno yang asli. Namun di akhir perhitungan data tersebut menjadi data yang palsu karena tidak sama dengan rekapitulasi akhir.
Ia juga membuat perhitungan di salah satu kantornya, dimana Herman mengutus beberapa simpatisan mencatat hasil penghitungan dari semua TPS, semua Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) bahkan di semua kabupaten, dan angka yang dihasilkan tidak pernah klop dan selalu ada selisih dengan rekapitulasi.
"Ini seperti permainan. Kalau saya mendapatkan 20 suara di penghitungan TPS, sampai di kecamatan belum tentu tetap 20 suara. Alhamdulillah saya mengikuti Pemilu ini jujur. Dan yang saya dapatkan selalu suara saya berkurang," ungkap legislator dapil Jawa Barat ini.
Ke depan, ia mengusulkan agar rekapitulasi C1 Plano yang didapat saat penghitungan di TPS dapat difoto. Kemudian suatu saat bisa dijadikan bukti otentik keaslian angka dan jumlah perolehan suara, yang juga ini bisa di distribusi kepada para saksi di tingkat PPK atau di tingkat kabupaten. “Ini menurut saya akan jadi proteksi terhadap niat niat jahat di dalam proses rekapitulasi suara,” pungkas Herman.(es/sf/DPR/bh/sya) |