Oleh: Muhammad Yuntri, SH
SAAT MEGA berkunjung ke Negara tirai bambo beberapa bulan lalu, konon 5 partai pendukung utama Jokowi (Golkar, Nasdem, PPP, PKB, Hanura) secara diam2 merapatkan barisan guna mengatur rebutan kursi menteri cabinet Jokowi yang mereka dukung. Bagaikan rebutan harta pampasan perang pilpjambi
Sekembalinya di Jakarta, mungkin atas ketersinggungan, grup TKN kemudian resmi dibubarkan, dan hak prerogatif presiden digaungkan. Sehingga terkesan tak satupun pihak koalisi TKN yang bisa ngotot untuk menuntut hak pampasang perang pilpres tersebut.
Seiring dengan itu, sudah dimulai gerakan dengan diplomasi makan sate selesai pertemuan sepanjang jalan di Komuter dan beberapa hari kemudian dilanjutkan dengan diplomasi "Nasi Goreng Mega".
Fenomena ini menimbulkan teka teki besar seantero nusantara. Quovadis hasil pilpres 2019 ? Siapa memainkan peran apa ? dengan tujuan apa ? dan kok bisa ? PDIP sebagai partai pemenang pemilu yang memang lebih banyak mengisi kursi wakil rakyat di DPR RI diikuti Gerindra diurutan kedua, tentu tidaklah sulit untuk memainkan peran jika kelak terjadi voting dalam pengambilan keputusan.
Isu kecurangan pemilu sudah terlewati walau rakyat pemilih sampai saat ini tetap mempermasalahkannya. Ewuh Pakewuh dalam bersikap mungkin masih terlihat pada pribadi Capres Prabowo karena telah menerima tawaran diplomasi Nasi goreng dan terkesan agak goyah berpegang teguh dengan komitmen ijtima' ulama.
Tapi rasa bertanggung jawab terhadap para pendukung yang menjadi korban pada peristiwa demonstrasi hasil pemilu curang pada 21-22 Mei 2019 lalu secara diam-diam tapi pasti sudah terselesaikan, sehingga rasa kecewa para pendukungnya agak terobati, walau di sisi pandangan emak-emak pejuang demokrasi belum bisa move on seolah masih menyisakan kekecewaan yang dalam sambil berharap keadaan tersebut berbalik sesuai harapan. Begitu juga dengan para aktivis gerakan PA 212.
Seiring jalannya waktu, teka teki tersebut akan mulai mengerucut, apa yang bakal terjadi ? tetapkah Jokowi dilantik dan Gerindra masuk juga dalam jajarannya di cabinet nanti ? ataukah Jokowi tidak jadi dilantik, kemudian terjadi masa transisi ? atau justru Capres Prabowolah yang jadi dilantik sebagai RI-1 oleh MPR -RI ?
Semua kemungkinan bisa terwujud, seperti permainan sepak bola, maka bolapun dianggap masih bundar. Salah satu kuncinya ada pada pasal 6A ayat (3) UUD '45) sebagai batu penjegal.
"Pasangan calon Presiden dan wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya dua puluh persen suara disetiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden."
Faktanya pasangan 01 Jokowi-Ma'ruf memang tidak memenuhi ketentuan 20 % di beberapa propinsi dimaksud, walaupun menang pada pilpres tapi tetap terjegal oleh konstitusi yang bersifat mutlak ini.
Tidak ada satu pihakpun yang bisa menafsirkan pasal 6A ayat (3) Konstitusi tersebut kecuali lembaga tinggi MPR itu sendiri, yang tentunya harus dilakukan pada forum Sidang Umum MPR-RI a quo. Sedangkan disisi lain, selama ini banyak yang mengandalkan eksistensi MK-RI guna memecahkan masalah ini.
Ternyata sesuai ketentuan pasal 10 ayat (1) UU No. 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, MK-RI hanya berkapasitas untuk menguji materi UU terhadap UUD saja, bukan untuk menafsirkan UUD. Hal mana juga dikuatkan dengan pendapat dari hakim maupun calon hakim MK RI yang mengikuti fit & proper tes di DPR RI tentang pemahamannya terhadap tugas & wewenang MK-RI yang tidak bisa menafsirkan pasal-pasal dalam UUD'45. Kalau konstitusi ini dilanggar, hal ini masuk dalam jenis pelanggaran berat yang mungkin tidak bisa ditolerir. Dan bakal jadi preseden buruk dimasa mendatang, bahkan semua peraturan perUU di bawah UUD'45 pun akan dengan gampangnya dimulti-tafsirkan atau dilanggar oleh rezim penguasa sesuai keinginannya. Dan rakyat sebagai pemilik (stake-holder) kedaulatan Negara tidak mungkin tinggal diam akan kesewenang-wenang yang bakal terjadi.
Ibarat dalam suatu permainan catur semua langkah perwira akan terhambat total jika di depannya ada penghalang walau hanya oleh satu bidak saja, kecuali perwira kuda yang bisa melompati semua pagar betis dengan langkah huruf siku.
Mungkinkah dengan peran kuda hitam ini yang akan atau sedang dimainkan Mega ? Begitu sangat pahamkah PDIP tentang batu sandungan pasal 6A ayat 3 ini bagi Jokowi ? jawabnya Entahlah? Tapi bagaimanapun juga kata kuncinya sudah mulai dimainkan Mega. Itulah satu seninya dalam dunia perpolitikan. Tidak ada kawan yang abadi, kecuali kepentingan yang abadi.
Jika PDIP tetap menghidupkan semangat koalisi TKN 01, maka ketersingungan lama sudah dimaafkan, dan komitmen bagi-bagi kursi menteri mutlak dipatuhi. Akan tetapi jika PDIP berkolaborasi dengan Gerindra, bakal ada opsi lain, bisa jadi nasib koalisi TKN tidak begitu cemerlang seperti saat pilpres dulu.
Jika PDIP rela menyerahkan palu MPR kepada Gerindra, maka kewenangan ketuk palu tentu ada pada Gerindra, yang sangat wajar diurutan kedua pemenang pemilu legislatif. Atau adanya komitmen lain di luar itu yang tujuannya tetap sama, yaitu koalisi baru PDIP-Gerindra.
Begitu juga dengan nasib Jokowi pemenang pilpres yang tersandung ketentuan pasal 6A ayat (3) UUD'45 apakah akan dimuluskan oleh MPR RI yang diketuai Gerindra atau PDIP ?
Pertanyaan ini akan terjawab seiring perjalanan waktu saat sidang umum MPR-RI besok lusa. Bagaimanapun itu "the show must go on," siapapun yang ditentukan MPR untuk menjadi RI-1, pihak PDIP tidak akan dirugikan, itulah keistimewaannya sang pemenang pemilu yang mungkin bisa saja membuat komitmen baru dengan koalisi baru.
Lompatan Kuda Hitam
Anggota DPR-RI dan DPD-RI yang baru terpilih akan dilantik tanggal 1 Oktober 2019, dan sekaligus akan menjadi anggota MPR-RI. Jelang tanggal 1 Oktober 2019, langkah kuda hitam ini sangat ditunggu-tunggu para pengamat politik. Semua pihak sedang berada di persimpangan jalan, ke arah kiri atau kearah kanan kah kelanjutannya ?
Realisasinya akan dipertontonkan pada kita semua melalui forum sidang MPR-RI besok lusa. Jadi sangatlah wajar jika semua pihak berebut kursi ketua MPR-RI yang akan berwenang mengetukkan palu kearah mana perpolitikan Negara ini dilanjutkan.
Penulis adalah Pengamat Politik di Indonesia.(bh/ams)
|