JAKARTA , Berita HUKUM - Kasus tukar guling lahan Kawiley Minut yang berbandrol sekitar Rp 2,7 Miliar, saat ini sedang ditangani penyidikannya, sementara ditinjau dari pihak Polda Sulawesi Utara dinilai ada kejanggalan. Kendati demikian kasus ini sudah masuk ke ranah Pengadilan. Namun banyak pihak menilai bahwa sejumlah oknum pejabat Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara (Pemprov Sulut) yang diduga terlibat dan terseret dalam pasal 55 KUHP, tidak terjamah hukum.
Padahal, didalam surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) sudah sangat jelas melihat soal keterlibatan para pejabat Pemprov Sulut, seyogyanya Laskar Anti Korupsi Indonesia-Pejuang (LAKI-P) Sulut dan Masyarakat Jaring Koruptor Sulut (MJKS), mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk segera mengambil alih kelanjutan penyidikan (DIK) kasus tersebut.
"Harusnya, semua yang menandatangani dalam proses tukar guling lahan itu diperiksa Polda Sulut, termasuk Gubernur Sulut Sinyo Harry Sarundajang (SHS), dan bila terbukti terlibat harus dijadikan tersangka. Mungkin saja Polda enggan melakukan hal itu. Makanya, kami telah membawa laporan resmi di KPK, sekaligus meminta agar kasus itu diambil alih oleh KPK demi menunjang penegakkan supremasi hukum di Sulut," tegas Ketua LAKI-P, Tommy Sumelung SH, bersamaan dengan Ketua MJKS, Stenly Towoliu di gedung KPK Jakarta, Jumat (16/5) usai menyerahkan laporan tambahan.
Dari pendapat keduanya juga mengatakan, kasus lahan Kawiley ini mirip dengan kasus Hambalang. Mengapa begitu? Banyak pihak yang terlibat. Mulai dari oknum pembeli, penjual, tim penafsir harga, hingga pejabat Pemprov Sulut diduga terlibat.
"Kami yakin, jika KPK mengambil alih, pasti kasus ini akan terang benderang," tandas keduanya, seraya menyebut dan akan membawa data kasus pengadaan kapal ceolacanth berbandrol Rp 4 miliar ke KPK pekan depan.(BH/bar) |