JAKARTA, Berita HUKUM - Aspek legalitas tidak harus menjadi pegangan pemerintah dan DPR dalam membahas revisi RUU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pemerintah dan DPR sebagai wakil rakyat seharusnya mendengarkan suara dan aspirasi rakyat dan tidak memaksakan diri untuk melanjutkan pembahasan di tengah-tengah resistensi.
Menurut Pengamat Hukum Pidana dari Universitas Indonesia (UI) Achyar Salmi mengakui secara konstitusi DPR dan pemerintah bertugas membuat UU, tapi keberadaan DPR adalah memperjuangkan aspirasi rakyat. Kalau banyak rakyat minta pembahasan revisi KUHP dan KUHAP ditunda atau meminta substansi harus dipertimbangkan ya harus dilakukan. Jangan sampai mematok target bahwa UU ini harus jadi di masa DPR sekarang," ujarnya.
Ia menambahkan DPR seharusnya menyelesaikan dahulu keberatankeberatan yang disuarakan rakyat karena hal itu adalah hakikat dan tugas Dewan. Selain aspek psikologis masyarakat sangat penting, memaksakan keinginan juga tidak ada urgensinya. Menurut Achyar, toh kalau tidak menyelesaikan RUU tersebut tidak akan membuat kinerja DPR buruk. “Akan lebih buruk jika memaksakan dalam pembahasan ini dalam waktu sing dalam waktu singkat. Kualitas RUU juga akan dipertanyakan lagi jika dibahas secara tergesagesa. "Paling tidak DPR mendengarkan aspirasi rakyat dan jangan bikin target harus selesai dalam periode tahun ini," periode tahun ini," ujarnya kepada Media Indonesia.
Achyar menyatakan sependapat dengan banyak pengamat bahwa revisi kedua UU tersebut akan melemahkan KPK. Dicontohkan, ten tang pasal yang mengatur penyadapan, pemeriksaan pendahuluan harus melalui izin hakim mustahil dilakukan di Indonesia. Kalau ada penyadapan bukan untuk kepen tingan hukum dan kepentingan negara itu baru diberikan sanksi pidana, buat aturan pidana yang berat, itu solusi. Kedua kalau ada yang membocorkan penyadapannya, itu baru di tindak pidana. "KPK dalam melaksanakan tu gasnya memberantas korupsi tidak perlu izin melakukan penyadapan," pungkasnya.
Telaah dokumen KPK bersama banyak dosen dan guru besar hukum pidana di pergu ruan tinggi di Sumatra Utara, Sura baya, Bali, Yogyakarta, dan Jakarta telah dengan saksama menelaah saksama menelaah dokumen resmi pe merintah yaitu draf akademik revisi ke dua UU itu. Hasilnya, menurut komisioner KPK Busyro Muqoddas, naskah yang sedang dibahas di DPR tersebut cenderung westernized dan mengingkari realitas praktik korupsi yang sudah akut, sistemik, struktural, dan lintas sektor pusat-daerah.
Menurut Busyro, sikap pemerintah dan DPR yang bersikukuh membahas revisi kedua rancangan undang-un dang tersebut dapat diibaratkan bermain di lorong gelap. "Sudah belasan kali sejumlah pihak berjuang keras melumpuhkan KPK. Kali ini peme rintah kompak dengan DPR meng gergaji leher KPK. Mereka tidak jujur menyadari korupsi mereka lakukan di sejumlah kementerian/lembaga, DPR pusat dan daerah. Saya khwatir ada cukong bisnis gelap memanfaat kan mometum ini. Kami akan tetap sabar kreatif dan kritis menghadapi kemunafikan dan kemaksiatan politik rezim politik produk Pemilu 2009 ini," ujar Busyro.
Terkait jawaban pemerintah terhadap surat KPK yang dilayangkan ke Presiden dan DPR, Wakil Ketua KPK Bambang Widjodjanto mengatakan, KPK mengapresiasi jawaban yang responsif dari Kemenkum dan HAM, tapi KPK belum mendapat jawaban resmi dan formil dari Presiden dan DPR serta Komisi III.
Lebih lanjut dijelaskan, jawaban dari Kemenkum dan HAM dapat dikatagorikan dalam tiga hal. Pertama ada informasi yang sifatnya distortif yang menyatakan Pimpinan KPK terdahulu, yaitu Chandra Hamzah terlibat jadi Anggota Tim Revisi tetapi setelah dikonfirmasi ternyata Hamzah tidak pernah tahu.
Alasan kedua, menteri tidak bisa menunda karena alasan prosedural sudah dibahas DPR sehingga tidak bisa ditarik tanpa persetujuan bersama tetapi tidak menjawab problem paradigmatik.
Terakhir hal teknis substansial yang tersebut dalam jawaban menteri dapat diperdebatkan dalam perspektif perlindungan kemanusiaan maupun kepentingan pemberantasan korupsi itu sendiri.(EB/P-2/MI/bhc/sya) |