Rohingya Krisis Rohingya: Demonstrasi Tandai Peringatan 2 Tahun di Pengungsian 2019-08-28 10:29:47
Puluhan ribu pengungsi Rohingya melakukan demo.(Foto: Istimewa)
BANGLADESH, Berita HUKUM - Puluhan ribu pengungsi Rohingya menggelar demonstrasi di dalam kamp-kamp pengungsi mereka di Bangladesh, Minggu (25/8), tepat dua tahun sejak mereka mengungsi di negara itu.
Hampir 750.000 orang meninggalkan daerah asal mereka di negara bagian Rakhine, Myanmar pada Agustus 2017, seiring dengan meningkatnya aksi kekerasan terhadap kelompok etnis tersebut.
Pada Kamis (22/08), Bangladesh membuat skema repatriasi sukarela - tetapi tidak satu pun pengungsi Rohingya memutuskan untuk kembali ke kampung halamannya.
Mereka menyerukan Myanmar untuk memberikan mereka kewarganegaraan sebelum mereka kembali.
Rohingya adalah etnis minoritas Muslim di Myanmar yang memiliki bahasa dan budaya sendiri. Sebagian besar tinggal di negara bagian Rakhine. Tetapi, meskipun tinggal di Myanmar selama beberapa generasi, mereka tidak diakui sebagai warga negara atau dihitung dalam sensus penduduk.
Myanmar justru menganggap mereka sebagai imigran ilegal dari Bangladesh.
Pada 25 Agustus 2017, militan Rohingya menyerang pos polisi, membunuh beberapa aparat. Pihak berwenang Myanmar menanggapi insiden itu dengan menangkap para militan sekaligus membakar desa-desa, menyerang para warga sipil, memerkosa, dan membunuh mereka, menurut temuan penyelidik PBB. Hak atas fotoAFPImage captionPuluhan ribu pengungsi Rohingya menggelar demonstrasi di dalam kamp pengungsi mereka di Bangladesh, Minggu (25/08), tepat dua tahun sejak mereka mengungsi di negara itu.
PBB menyebut langkah itu sebagai "contoh" dari pembersihan etnis, sementara orang-orang Rohingya menyebutnya sebagai "peringatan hari genosida".
Militer Myanmar mengatakan pihaknya memberlakukan operasi kontraterorisme dan tidak menargetkan warga sipil.
Penyelidikan internal pada 2017 membebaskan militer dari tanggung jawab atas krisis Rohingya.
Bagaimana nasib pengungsi Rohingya sekarang?
Sekitar satu juta pengungsi kini tinggal di Bangladesh, sebagian besar di kamp-kamp pengungsi - yang terbesar menampung lebih dari setengah juta orang. Mereka praktis menjadi beban ekonomi di Bangladesh.
Awal tahun ini, Bangladesh mengatakan tidak bisa lagi menerima lebih banyak pengungsi, karena kesepakatan Januari 2018 antara negara itu dan Myanmar untuk memulangkan pengungsi Rohingya gagal terwujud.<
Tetapi pengembalian itu sukarela - dan hampir tidak ada yang kembali, sementara Myanmar terus menolak kewarganegaraan mereka. Hak atas fotoGETTY/ALLISON JOYCEImage captionTanggal 25 Agustus 2019 adalah peringatan dua tahun gelombang pengungsi Rohingya di Bangladesh, tetapi tak ada dari mereka yang ingin ikut program "pemulangan".
Myanmar telah menawarkan opsi yang memungkinkan warga Rohingya leluasa bergerak, jika mereka menerima kartu identitas nasional - yang menurut orang Rohingya berarti menerima status mereka sebagai imigran ilegal.
Mereka yang tidak melarikan diri sekarang jumlahnya kurang dari setengah juta orang di Rakhine. Mereka menuduh pemerintah melakukan penindasan sistemik.
Upaya repatriasi pada Kamis silam melibatkan sekitar 300 keluarga, dengan bus-bus yang telah siap mengantarkan mereka ke Myanmar.
Badan PBB yang menangangi pengungsi, UNHCR, yang mewawancarai para pengungsi mengatakan: "Sejauh ini, tidak ada indikasi untuk dipulangkan pada saat ini."
Bangladesh kehilangan kesabaran
Oleh: Akbar Hossain, koresponden BBC di Dhaka
Krisis pengungsi telah membawa beban politik domestik yang luar biasa bagi pemerintahan Perdana Menteri Bangladesh, Sheikh Hasina. Sebagai tuan rumah, Bangladesh mulai kehilangan kesabaran atas apa yang terjadi terhadap pengungsi Rohinya.
Para ahli di Bangladesh percaya bahwa China memiliki peran besar dalam memberikan tekanan pada Myanmar sehingga memastikan kondisi yang lebih aman bagi pengungsi yang kembali.
Faktor penting lainnya adalah situasi hukum dan ketertiban di dalam kamp. Insiden menunjukkan kelompok bersenjata Rohingya semakin kuat.
Banyak orang takut bahwa ekstremis Islam mungkin menyebar di kamp-kamp pengungsi, yang ditandai dengan kemiskinan ekstrem.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Pada hari yang sama, misi pencari fakta PBB yang bertugas menelisik pelanggaran HAM oleh Myanmar mengatakan, para prajurit kerap melakukan pemerkosaaan dalam "upaya genosida militer Myanmar untuk menghancurkan populasi warga Rohingnya".
Hal itu berlanjut di negara bagian Kachin dan Shan sekarang, sebut misi pencari fakta itu.
Kekerasan seksual oleh militer adalah "bagian dari strategi yang terencana untuk mengintimidasi, meneror dan menghukum sebuah populasi masyarakat," simpulnya.
Dua tahun di pengungsian
Di Kutupalang, kamp pengungsi terbesar di dunia, doa dan nyanyian terdengar ketika 30.000 orang ambil bagian dalam acara peringatan tersebut.
"Saya datang ke sini untuk mencari keadilan atas pembunuhan kedua putra saya. Saya akan terus mencari keadilan sampai napas terakhir saya," kata Tayaba Khatun yang berusia 50 tahun kepada kantor berita AFP.
Pemimpin Rohingya Mohib Ullah mengatakan: "Kami telah meminta pemerintah Myanmar untuk berdialog. Tetapi kami belum mendapat tanggapan dari mereka. Hak atas fotoGETTY/ALLISON JOYCEImage captionKrisis pengungsi Rohingya ini sudah berjalan dua tahun dan upaya repatriasi mengalami hambatan karena tidak ada pengungsi yang bersedia "dipulangkan" tanpa jamian keselamatan dan kewarganegaraaan.
"Kami dipukuli, dibunuh, dan diperkosa di Rakhine. Tapi tetap saja itu rumah kami. Dan kami ingin kembali."
Dalam dua tahun pengungsian mereka, pengungsi Rohingya di Kutupalong telah membuka toko-toko kecil dan membangun sekolah di kamp pengungsi, menciptakan sedikit rasa normal.
"Saya datang dari Myanmar, tidak bisa mentolerir penyiksaan di sana, jadi saya datang ke Bangladesh," Ali Akbar mengatakan kepada Reuters di kios ponselnya
"[Ketika] datang ke sini saya sudah memulai bisnis ini, saya senang di sini."
Mohammed Salim mengatakan dia melarikan diri ketika rumahnya di Myanmar dibakar, menyeberangi hutan untuk sampai ke kamp tempat badan amal menyediakan makanan dan air bersih. Hak atas fotoGETTY/ALLISON JOYCEImage captionAbu Bakar (bukan nama sebenarnya), salah seorang pengungsi Rohingya yang namanya ada di daftar untuk direpatriasi dan menolak karena "tak ingin mengalami penyiksaan" lagi.
"Sekarang kita melalui masa-masa yang baik, kita bahagia di sini ... mereka membakar rumah kita, mengambil ternak kita, merebut tanah kita. Jika mereka mengembalikan tanah kita, rumah dan juga memberi kita kewarganegaraan maka kita akan kembali, kalau tidak kita tidak mau pergi."
Namun, tidak semua yang ada di kamp itu damai.
Pada Sabtu (24/08), polisi Bangladesh mengatakan mereka telah menembak dan membunuh dua pengungsi di kamp pengungsi Jadimura di Cox's Bazar.
Kedua orang yang ditembak saat pengejaran karena menjadi tersangka dalam kasus pembunuhan terhadap Omar Faruk, seorang pejabat dari partai yang berkuasa, diduga di tangan para pengungsi bersenjata.
Versi peristiwa itu dipertanyakan oleh aktivis hak asasi manusia, yang mengatakan kepada AFP bahwa mereka yakin pertemuan itu telah diatur.(BBC/bh/sya)
PT. Zafa Mediatama Indonesia Kantor Redaksi
Jl. Fatmawati Raya No 47D Lt.2
Cilandak - Jakarta Selatan 12410
Telp : +62 21 7493148
+62 85100405359 info@beritahukum.com