JAKARTA, Berita HUKUM - Jelang perhelatan konstestasi pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak 2018, serta pemilihan Legislatif (Pileg) dan pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 mendatang, kinerja Komisi Pemilihan Umum (KPU) Republik Indonesia hingga tingkat KPUD kini menjadi hal yang diteropong berbagai kalangan/ pihak.
Sebagaimana M. Hatta Taliwang saat memoderatori sesi diskusi yang diselenggarakan oleh Institute Soekarno Hatta bertajuk, "Kredibilitas, Integritas dan Netralitas KPU/ KPUD dalam Penyelenggaraan Pilkada/ Pileg/ Pilpres, yang digelar di bilangan Menteng, Jakarta pada, Senin (19/3), ia menyampaikan dirinya berharap kedepan dapat membangun persepsi publik terhadap kinerja KPU.
Sehubungan penangkapan anggota KPUD dan Bawaslu oleh pihak Kepolisian seperti di Garut, serta penganuliran keputusan KPU yang sempat tak meloloskan Partai Bulan Bintang (PBB) dalam Pilpres 2019 seakan menimbulkan kecurigaan ihwal kredibilitas, integritas, dan netralitas penyelenggara pesta demokrasi.
Ditambah, tersiar berita ada oknum anggota KPUD Garut yang ditangkap Polisi berkaitan verikasi partai. "Hal ini menimbulkan tandatanya di publik mengenai kredibilitas, integritas dan netralitas KPU sebagai penanggung jawab Pilkada/Pileg/Pilpres dalam pesta demokrasi mendatang," ungkap Hatta Taliwang, Senin (19/3).
Sementara, Edwin Soekowati, mantan Komisioner KPU yang turut hadir mengatakan bahwa, semenjak tahun 2004 kinerja KPU sudah penuh rekayasa. "Sarat kepentingan pribadi dan tidak lagi ideologis, lembaga ini seakan gadaikan komitmennya, ingkari Pancasila dan UUD 1945," celetuknya.
Menurutnya, kebijakan penetapan ambang batas parlementer yang mencapai 20 % bertentangan dengan sila ke-4. Namun, KPU tidak bisa mengambil sikap dan menerimanya atas nama demokrasi. "Padahal kebijakan semacam itu jelas menunjukkan semangat otoritariansime yang masih kuat dalam tubuh penguasa", kata mantan komisioner KPU ini .
Padahal, saat menjadi anggota pada 1999, Edwin menganggap KPU sebagai lembaga yang sangat demokratis. Ketika itu, berbagai intervensi dari pihak asing dapat diredam. "UNDP yang pada saat itu memberikan bantuan hingga lima triliun berani menekan unsur pemerintah dalam KPU. Maka itulah, untuk KPU saat ini segera bertobat. Jangan sampai ada kesan lembaga ini bermain di ranah politik. Mulai saat ini netralitas KPU harus berkiblat pada pelayanan rakyat dalam ajang pesta demokrasi," tegasnya.
Edwin juga mengatakan, KPU harus konsisten tetap bersikap netral menjelang tahun politik. Soalnya, dunia Internasional akan memberikan kontrol kuat terhadap proses politik di Indonesia.
"Kontrol dari asingnya sangat kuat. Jadi netralitas KPU tak lepas dari intervensi asing," tukasnya, seraya memberikan kontestasi Pemilu paling adil, bersih, dan jujur hanya pada pemilu 1955 (keberadaan parpol saat itu jelas atas dasar ideologi).
Pantauan pewarta BeritaHUKUM dilokasi acara, nampak narasumber; yakni Hatta Taliwang, Edwin Soekowat dan Syahganda Nainggolan, Djoko Edhie Abdurachman, Titi Anggraini, dan Pramono U.Tantowi pada diskusi publik "Kredibilitas, Integritas, dan Netralitas KPU/KPUD dalam Penyelenggaraan Pilkada/Pileg/Pilpres" digelar Institut Soekarno Hatta, Jakarta, Senin (18/3).
Di lain pihak, aktivis senior Syahganda Nainggolan terkait sudah dua anggota KPU ditangkap di Dairi dan Garut, dirinya merasa ada ketidakberesan dalam hal tersebut,
Ini menjadi contoh dalam proses seleksi, tidak ada penelusuran ihwal keterkaitan calon anggota KPU, akhirnya kinerja KPU tak dipercaya publik. KPU dibentuk agar setiap konsisten dapat bertarung secara adil dalam sebuah pesta demokrasi. Jika kriteria ini dapat dipenuhi, maka siapaun yang keluar sebagai pemenang tidak akan dipermasalahkan.
"Kalau adil, siapapun yang menang maka akan menjadi pemimpin yang disukai masyarakat," kata Syahganda.
Selain itu bila menerawang, sambungnya media asing kadang kala berupaya dalam pembentukan opini, itu terjadi baik di Amerika Serikat, Singapura. "Namun, akhirnya ikut masuk ke Ina. Disinilah kita bener-benar ingin KPU memperhatikan," harapnya.
"lalu kemudian terkait DPT (Daftar Pemilih Tetap), kini kadang ketemu seseorang merubah kewarganegaraan gampang. Bayangkan saja ini sudah berapa juta TKA kemari ?" jelasnya.
"Kalau mereka besok peroleh KTP, berarti bisa menjadi peserta pemilu. Waduh..., coba kalau diingat tempo kemarin saat Pilkada DKI kan banyak yang KTP nya ganda. Jadi kita berharap KPU untuk DPT kalau bisa yang bener lah," cetusnya.
Ini bisa terjadi dalam ilmu Matematik (Logik), cetus Syahganda. "Dimana jika dan hanya Jika. Jika KPU ini bener bener Netral. Harapan kita KPU agar netral dalam pemilu kita," tandasnya.
Kemudian, Pramono U.Tantowi, MA sebagai Komisioner KPU 2017-2022 menyampaikan, KPU bekerja benar saja dicurigai, apalagi bekerja gak benar. "Kalau kecurigaan pada KPU masih cukup tinggi, memang berdasarkan pada pengalaman pemilu sebelumnya," ungkap mantan ketua Bawaslu Banten ini.
"KPU semakin kesini mestinya semakin memperbaiki diri. Bila gak jujur, gak netral, nerima uang...pasti dipecat. pertama, supervisi dari atas dimana gak bisa main sendiri tanpa laporan ke KPU RI ndak bisa, pastinya di koreksi. Lagipula, ada juga Badan Pengawas Pemilu, bila KPU menyeleweng akan diproses, saya pernah punya pengalaman mengawasi yang seperti itu," jelasnya.
"Dengan adanya Dewan kehormatan Pemilu. maka akan lebih ketat," ucapnya.
"Seperti yang terjadi kemarin di Garut, maka langkah tegas untuk KPU telusuri. Data lengkap, diberikan pemberhentian tetap. baik sambil menunggu proses di Dewan Kehormatan Penyelenggaraan Pemilu (DKPP) diberhentikan secara permanen," paparnya.
Dengan kondisi Pilkada sejumlah 16 provinsi ditambah ratusan Kabupaten / Kota, harap Pramono mengucapkan, apabila ada informasi di daerah ada yang seolah ada main. "Itu tentunya dari informasi kita, seraya menyambung mas Edhi (Djoko Edhi) pasti pengalaman pas di Madura dahulu yah," ulasnya.
"Sudah biasa itu KPU dituduh tidak netral, disangka dukung pro yang menang. Baik saat di zaman Pilpres masa SBY, bahkan juga saat Jokowi. lalu," ujarnya.
"Terkait dengan IT, dimana seolah-olah ada mobil bisa nyedot data. Soalnya, hasil resmi yakni yang direkapitulasi / unggah dari manual tadi, dokumen-dokumennya ada. Rekapitulasi secara manual, hard copy. Untuk calon perseorangan, dimana seperti di tangerang 150 rb KTP. untuk verifikasi kegandaan bila gak pakai sistem bagaimana? maka itu verifikasi kebenaran, keabsahan, keakuratan," jelasnya.
Tekhonologi IT digunakan untuk permudah, dan kapasitas partisipasi politik. Hasil perolehan suara digunakan tetap manual. "Kembali ke sistem manual, karena tahu resiko elektronik," ujarnya.
Kini, ungkap Pramono bahwa mestinya sumbangan terkait dana kampanye seperti di daerah-daerah, seperti Surat izin usaha, pengelolaan hutan dan itu yang patut diperhatikan dan acap kali ada permainan terjadi, "Perlu penguatan Masyarakat sipil terkait hal itu," karena temboknya tebal sekali dalam hal ini," pungkasnya.(bh/mnd) |