WARSAWA, Berita HUKUM - Konferensi PBB untuk Perubahan Iklim ke-19 (COP19 UNFCCC) di Warsawa, Polandia, berakhir Sabtu (23/11) 29 jam molor dari jadwal penutupan. Peserta alot dalam menyepakati keputusan tentang arsitektur kerangka kerja global untuk perubahan iklim pasca 2020.
COP19 UNFCCC menyepakati beberapa keputusan penting, antara lain mengenai penajaman rencana kerja menuju kesepakatan 2015, the Warsaw Framework for REDD+, the Warsaw International Mechanism for Loss and Damage, dan yang terkait dengan peningkatan dan penyaluran pendanaan perubahan iklim.
Negara-negara UNFCCC telah menyepakati bahwa pada COP21, akhir tahun 2015 di Paris, Perancis, akan diadopsi suatu protokol, instrumen legal atau keputusan yang memiliki kekuatan hukum sebagai basis kerangka kerja global baru untuk penanganan masalah perubahan iklim pasca 2020.
Keputusan Warsawa menegaskan perlunya tahap-tahap persiapan menjelang COP21, antara lain upaya masing-masing negara menyiapkan kontribusi mereka sebagai komitmen global pasca 2020. Sumbangan ini ditetapkan sendiri oleh masing-masing negara.
The Warsaw Framework for REDD+ merupakan paket dari tujuh keputusan terkait implementasi skema “reducing emission from deforestation and forest degradation (REDD) plus”, termasuk di dalamnya metodologi, koordinasi dan kelembagaan, pengamanan, penyebab deforestasi dan pendanaan.
The Warsaw Framework for REDD+ diperkuat dengan komitmen penyediaan dana dari Amerika Serikat, Norwegia dan Inggris sebesar 280 juta dolar AS. Keputusan COP19 tersebut memberikan panduan perlindungan lingkungan, dan mempercepat pelaksanaan secara transparan skema REDD+ .
Selain itu, telah disepakati operasionalisasi sistem MRV (measurement, reporting and verification) untuk aksi mitigasi perubahan iklim, termasuk untuk REDD+.
Sedangkan keputusan the Warsaw International Mechanism for Loss and Damage merupakan hasil kompromi perundingan antara negara berkembang --khususnya least developed countries (LDCs) dan aliansi negara kepulauan kecil (AOSIS) dan kelompok negara maju.
Negara berkembang selama ini menghendaki mekanisme penggantian tersendiri atas kehilangan dan kerusakan (loss and damage) dari dampak perubahan iklim. Sedang kelompok negara maju menginginkan mekanisme penggantian tersebut masuk dalam konteks adaptasi. Mekanisme tersebut bersifat interim dan akan ditinjau kembali tiga tahun mendatang (2016).
Delegasi Indonesia melihat kompromi tersebut merupakan kemajuan perundingan walaupun komitmen negara maju dalam hal pendanaan, teknologi dan penguatan kapasitas masih dinilai kurang kuat dalam upaya menekan kehilangan dan kerusakan sebagai dampak perubahan iklim.
Dari hasil perundingan pendanaan, COP19 memutuskan pelaksanaan high level ministerial dialogue on climate financesetiap dua tahun sekali mulai 2014 hingga 2020. Dialog ini untuk memastikan pelaksanaan komitmen pendanaan sebesar 100 milyar dolar AS hingga 2020.
Untuk mendukung pelaksanaan dialog tersebut, negara-negara maju diminta untuk menyampaikan informasi—setiap dua tahun sekali—mengenai strategi dan pendekatannya untuk memobilisasi pendanaan, dan Sekretariat UNFCCC diminta untuk melaksanakan beberapa lokakarya terkait peningkatan aliran pendanaan dari sumber publik, swasta dan alternatif. Sementera itu, beberapa negara maju memberikan pledge kontribusi pendanaan kepada Adaptation Fund yang tengah mengalami krisis keuangan sehingga tidak mampu mendanai proyek yang telah disetujuinya. Total komitmen pendanaan dari negara maju yang dibuat di Warsawa mencapai lebih dari USD100 juta, yang berarti melebihi target penggalangan dana Adaptation Fund Board tahun ini.
Menuju Kesepakatan 2015
Presiden COP19 yang juga Menteri Lingkungan Hidup Polandia, Marcin Korolec dalam siaran pers resmi COP19 mengatakan hasil konferensi Warsawa menjadi gerbang menuju kesepakatan iklim universal pada tahun 2015. Hasil ini, katanya, meletakkan rancangan teks negosiasi perjanjian iklim baru yang universal, untuk dibahas pada COP20 di Lima, Peru dan bakal diadopsi pada COP21 di Paris, Perancis pada tahun 2015.
Ketua Delegasi RI, Rachmat Witoelar, yang juga Utusan Khusus Presiden untuk Pengendalian Perubahan Iklim, menilai keputusan COP19 akan menjadi pijakan negosiasi untuk pencapaian keputusan yang mengikat pada 2015.
“Berbagai keputusan COP19 memberikan dasar yang kuat untuk pembahasan yang lebih mendalam ditahun mendatang dalam rangka merumuskan elemen-elemen kesepakatan 2015 yang mengikat (legally binding) dan melibatkan semua negara (applicable to allParties),” kata Rachmat Witoelar .
Indonesia mengharapkan semua keputusan COP19 tersebut akan ditindaklanjuti dengan peningkatan komitmen negara -negara dalam upaya pengendalian perubahan iklim, khususnya komitmen penurunan emisi pra-2020 oleh negara-negara maju.
Melemahnya komitmen beberapa negara seperti Jepang dan Australia memberikan sinyal negatif atas kepastian pelaksanaan komitmen-komitmen yang dibuat di Warsawa.
Seperti diketahui, Jepang telah mengumumkan penurunan yang sangat drastis dari komitmen penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) dari 25 persen pada level emisi tahun 1990, menjadi 3,8 persen dari emisi tahun 2005 atau setara 3,1 persen dari level emisi tahun 1990.
Sedangkan Australia membuat kebijakan baru terkait perubahan iklim yaitu membubarkan Climate Change Authority dan Clean Energy Finance Company, serta membatalkan skema pasar karbon domestik.(FJ/YS/EM/ES/skb/bhc/sya) |