JAKARTA, Berita HUKUM - Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon menilai Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) telah gegabah dalam melakukan pemblokiran terhadap sejumlah situs media Islam. Kebijakan pemblokiran tanpa sosialisasi sebelumnya patut dilawan dengan langkah-langkah hukum.
"Kominfo jangan menjadi alat untuk melakukan pemberedelan seperti era masa lalu, dikaji dululah. Kalau situsnya identitasnya jelas ya tidak bisa. Prosesnya berjenjang, dipanggil dulu, dialog dulu, minta masukan dari MUI, NU, Muhammadiyah. Jadi pemblokiran yang dilakukan Kominfo dan BNPT ini gegabah," katanya usai menerima pimpinan situs di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (2/4).
Dalam kesempatan itu ia juga melakukan klarifikasi terkait pernyataannya di sejumlah media yang menyatakan dukungan terhadap pemblokiran. "Waktu itu saya berfikir ini situs aneh yang tidak punya kredibilitas. Kalau memang mengajarkan radikalisme saya setuju diblokir, tapi ternyata kan tidak," tutur dia.
Ia menjelaskan sudah mengetahui kiprah Ormas Al Irsyad yang situsnya Gema Islam turut diblokir atau Ormas Hidayatullah yang juga mengalami nasib yang sama. "Kalau punya identitas yang jelas tidak bisa, kalau al Irsyad atau Hidayatullah yang sudah berkiprah puluhan tahun tentu tidak bisa langsung diblokir," tandas politisi FP Gerindra ini.
Dalam pertemuan yang dihadiri delapan pimpinan situs terungkap Gema Islam ternyata telah menjadi mitra BNPT sejak lama. Ormas al Irsyad juga pernah mendapat pujian dari Pimpinan BNPT karena berhasil menggelar acara pengajian yang menyuarakan deradikalisasi.
"Selama ini kami sudah seperti mitra BNPT, pimpinan kami sering bertemu dan berdialog dengan BNPT. Kami pernah mengundang ulama dari Yordania mengusung pengajian pentingnya deradikalisasi, kegiatan ini dipuji langsung oleh Pimpinan BNPT. Jadi saat mendapat kabar pemblokiran, kita pikir hoax," kata Budi Marta pimpinan situs Gema Islam.
Sementara itu Agus Sularto dari situs Komunitas AQI menyebut kegiatan yang ditampilkan hanyalah acara pengajian para jamaah yang tersebar di sejumlah provinsi. "Jamaah kami sekitar 10 ribu orang tersebar di Aceh, Batam, Sumbar dan daerah lain. Kami tidak mau disebut radikal. Kami hanya web pengajian, apa perlu kita mendaftar ke Dewan Pers?" pungkas dia.
Sebelumnya, Langkah pemerintah dalam hal ini Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) melakukan pemblokiran terhadap 22 situs Islam dinilai merupakan langkah yang keliru. Apalagi kebijakan itu diambil setelah mendengar pertimbangan dari BNPT (Badan Nasional Pemberantasan Terorisme) tanpa masukan dari MUI (Majelis Ulama Indonesia).
"Keliru besar memblokir situs tanpa membuktikan sudah ada orang yang menjadi teroris setelah membaca situs Islam. BNPT tidak punya otoritas untuk menilai situs membelajarkan teror, yang punya otoritas itu adalah MUI," kata anggota Komisi I DPR RI, El Nino di Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (1/4) kemarin.
Lebih jauh ia mengingatkan kebijakan pemblokiran situs Islam ini dapat berkembang menjadi isu yang menciptakan stereotype terorisme di Indonesia hanya dari kalangan Islam sedangkan yang bukan Islam adalah pemberontak.
Bicara pada kesempatan yang berbeda Wakil Ketua Komisi I Hanafi Rais mengatakan akan segera memanggil Menkominfo untuk mengklarifikasi hal ini. Baginya kebijakan pemblokiran tersebut terlalu terburu-buru.
"Kebijakan Menkominfo ini terlalu gegabah, jangan sampai pemerintah dicap Islamophobia. Kita akan undang Menkominfo menjelaskan dalam dua pekan ini," pungkas dia.(iky/dpr/bh/sya) |