Oleh: Aan Andrianih, SH, MH.
TUJUAN yang dicita-citakan hukum nasional adalah hukum yang dapat mewujudkan keadilan sosial dan kemakmuran masyarakat. Secara fungsional, hukum nasional adalah hukum yang mampu mengayomi, sebagai sarana ketertiban dan sarana pembangunan. Pembangunan hukum yang memberikan perlindungan terhadap konsumen adalah dalam rangka membangun manusia Indonesia seutuhnya yang berlandaskan pada falsafah kenegaraan Republik Indonesia yaitu dasar negara Pancasila dan konstitusi negara Undang Undang Dasar 1945.
Terkait dengan hal tersebut, Pembangunan di bidang perekonomian nasional pada era globalisasi, seharusnya dapat mendukung tumbuhnya dunia usaha sehingga mampu menghasilkan beraneka barang dan/atau jasa yang memiliki kandungan teknologi yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat banyak dan sekaligus mendapatkan kepastian atas barang dan/atau jasa yang diperoleh dari perdagangan tanpa mengakibatkan kerugian konsumen.
Perlindungan konsumen yang didasari asas hukum utama yaitu Pancasila. Sila Kelima Pancasila mengatakan bahwa keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Pengertian keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia, didalamnya terkandung hak seluruh rakyat Indonesia untuk diperlakukan sama didepan hukum.sebagaimana di amanatkan di dalam Pasal 27 Undang-Undang Dasar Negera Republik Indonesia Tahun 1945 perubahan keempat, dimana dinyatakan bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya, di dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD Tahun 1945) pada alinea keempat yang menyatakan bahwa “....dibentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia ...”. Hal ini memiliki makna pemerintah memiliki tugas sebagai pelindung bagi warga negaranya, salah satu bentuk perlindungan Negara terhadap konsumen di indonesia maka di bentuklah Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan konsumen.
Berdasarkan ketentuan umum Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, dengan jelas mengatakan bahwa tujuan utama di bentuknya Undang-Undang Perlindungan Konsumen adalah untuk memberikan kepastian serta perlindungan hukum terhadap konsumen. Lebih lanjut di dalam Pasal 1 angka 2 UU no 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan konsumen menyebutkan bahwa konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan / atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.
Perlindungan konsumen di Indonesia dimaksudkan untuk memberikan perlindungan hukum bagi para konsumen dalam melakukan berbagai kegiatan pembelian barang/jasa. Perlindungan hukum ini diperlukan dalam rangka menghindari praktek-praktek kecurangan yang dilakukan oleh pelaku usaha yang ingin meraup keuntungan sebanyak-banyaknya tanpa mempertimbangkan kerugian yang di terima oleh konsumennya.
Perlindungan konsumen di Indonesia belum sepenuhnya dapat dijalankan dengan baik. Hal ini dapat dilihat dengan masih banyaknya kasus mengenai perlindungan konsumen.hal ini terjadi karena masih banyak pelaku usaha yang melakukan berbagai kecurangan terhadap barang/jasa yang diperjualbelikan kepada konsumen. Selain pelaku usaha yang melakukan kecurangan, masyarakat sebagai konsumenpun masih belum menyadari sepenuhnya akan hak dan kewajibannya sebagai konsumen. Lemahnya pengertian masyarakat mengenai hak dan kewajiban seorang konsumen di Indonesia menjadi salah satu sebab lemahnya perlindungan konsumen di Indonesia.
Salah satu perlindungan konsumen yang ada di Undang-Undang Perlindungan Konsumen, adalah pengaturan mengenai perjanjian dengan klausula baku. Kasus mengenai klausula baku di Indonesia cenderung meningkat. Berdasarkan data dari Yayasan Lembaga Konsumen di Indonesia terdapat peningkatan kasus terkait klausula baku berdasarkan data tahun 2009 terdapat 4 kasus klausula baku yang meningkat di tahun 2010 menjadi berjumlah 12 kasus klausula baku Meningkatnya jumlah kasus tersebut dapat dilihat bahwa masih banyak pelaku usaha yang menggunakan klausula baku, dan juga banyak masyarakat yang mulai mengadu mengenai kerugian yang diderita konsumen terkait adanya klausula baku.
Adapun pengaturan mengenai perjanjian baku ini diatur dalam Pasal 18 Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Pasal 18 Undang-Undang Perlindungan Konsumen lahir dari adanya keinginan untuk melindungi masyarakat dari kecurangan pelaku usaha dalam membuat perjanjian. Klausula baku berdasarkan Pasal 1 angka 10 mengatakan bahwa klausula baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.
Adapun perlindungan yang diberikan oleh Undang-Undang Perlindungan Konsumen dalam perjanjian baku diatur di dalamalam Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang mengatakan bahwa pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagankan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila:
a. menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;
b. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen;
c. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen;
d. menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;
e. mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;
f. memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa;
g. menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;
h. menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.
Menurut sutan remy sjahdeini, yang dimaksud dengan perjanjian baku ialah perjanjian yang hampir seluruh klausul-klausulnya sudah dibakukan oleh pemakainya dan pihak yang lain pada dasarnya tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan. Prinsip perjanjian yang ada di Indonesia berdasarkan pada Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), Pasal 1320 KUHPerdata, dan Pasal 1338 KUHPerdata merupakan prinsip-prinsip yang harus dimiliki dalam membuat suatu perjanjian.
Pasal 1313 KUHPerdata mengatakan bahwa suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Pasal 1313 KUHPerdata ini merupakan prinsip awal adanya suatu perjanjian. Perjanjian ada jika ada dua orang atau lebih saling mengikatkan dirinya. Adapaun prinsip lainnya yaitu mengenai syarat sahnya suatu perjanjian ada dalam Pasal 1320 KUHPerdata yang mengatakan bahwa untuk terjadi sahnya suatu perjanjian perlu dipenuhi empat syarat, yaitu:
1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. Suatu pokok persoalan tertentu;
4. Suatu sebab yang tidak terlarang
Suatu perjanjian yang telah dibuat oleh dua orang atau lebih mempunyai kekuatan penuh seperti undang-undang bagi para pihak yang membuatnya. Salah satu asas yang ada dalam suatu perjanjian dan dikenal sebagai pacta sunt servanda. Asas ini termuat dalam Pasal 1338 KUHPerdata yang menyatakan bahwa segala sesuatu yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.Perjanjian baku yang sering dilakukan oleh pelaku usaha biasanya tidak memenuhi prinsip-prinsip yang sudah ada dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Prinsip-prinsip dasar dari perjanjian ini harusnya mutlak ada dan diterapkan dalam setiap perjanjian yang ada di Indonesia. Hal ini untuk melindungi konsumen dari kecurangan yang dilakukan oleh para pelaku usaha. Sedangkan perjanjian klausula jika di kaitkan dengan prinsip dasar perjanjian sebagaimana tercantum di dalam KUHPerdata tidak sesuai dengan prinsip perjanjian yang harus memuat kesepakatan dari para pihak sehingga menurut penulis klausula baku merupakan perjanjian yang tidak memenuhi syarat yang seringkali di gunakan oleh pengusaha yang sebagian besar sangat merugikan konsumen.
Rendahnya kesadaran masyarakat akan perlindungan konsumen menyebabkan rendahnya posisi tawar konsumen terhadap pengusaha hal ini mengakibatkan terjadinya ketimpangan yang menjauhkan konsumen dari rasa keadilan. Masih rendahnya pengetahuan konsumen mengenai perjanjian klausula baku memiliki andil dalam kesenjangan terhadap keadilan. Jikapun mengerti amat sangat jarang konsumen yang mau mengadukan mengenai kerugian yang diakibatkan adanya klausula baku yang terdapat di berbagai perjanjian sepihak tersebut. Beberapa perjanjian yang menggunakan klausula baku diantaranya terdapat dalam karcis parkir, perjanjian kredit, perjanjian asuransi, dan masih banyak perjanjian dengan klausula baku yang lainnya.
John Rawls dalam teorinya mengenai teori keadilan mengungkapkan adanya dua prinsip dasar keadilan. Salah satu prinsip tersebut yaitu adanya aturan mengenai perbedaan ekonomi dan sosial dari masyarakat. Masyarakat pada saat sekarang ini berada pada posisi yang lemah dari pada posisi pengusaha. Adanya kemampuan secara finansial dari seorang pengusaha dan perusahaannya, menjadikan posisi pengusaha berada di atas posisi masyarakat. Dari teori yang dikemukakan oleh Jhon Rawls, maka Undang-Undang Perlindungan Konsumen merupakan salah satu penyeimbang kedudukan antara konsumen dengan pengusaha. John Rawls juga mengungkapkan bahwa aturan tersebut untuk menimbulkan kondisi yang baik, dimana terciptanya keuntungan yang maksimum bagi setiap orang, termasuk bagi pihak yang lemah. Dari apa yang dikemukakan oleh John Rawls, maka dapat dilihat bahwa pengaturan dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen merupakan salah satu pemberian perlindungan kepada pihak yang lemah, dimana masyarakat harus berada sejajar posisinya dengan pengusaha. Pasal 18 Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang harusnya ditaati oleh semua pihak, pada saat sekarang ini belum dapat diwujudkan. Masih banyaknya perusahaan yang menerapkan adanya klausula baku kepada konsumen. Oleh karena itu, prinsip keadilan yang dikemukakan oleh John Rawls belum dapat diwujudkan.
Sehingga implementasi Undang-Undang Perlindungan Konsumen, khususnya Pasal 18 masih belum berjalan sebagaimana mestinya. Pelaku usaha yang masih mencantumkan klausula baku sangat merugikan konsumen. Banyak masyarakat yang terpaksa menyetujui klausula baku tersebut. Hal ini dikarenakan kondisi masyarakat yang terdesak dan dalam posisi lemah (tidak memiliki pilihan). Perbaikan ataupun perubahan Undang-Undang Perlindungan Konsumen merupakan salah satu hal yang perlu dilakukan. Hal ini untuk memperkuat keberadaan perlindungan konsumen yang ada di Indonesia. Sehingga tujuan dari bernegara yang berdasarkan kepada Pancasila dan juga Undang-Undang Dasar Negara Tahun 1945 dapat tercapai dengan baik.(aan/bhc/sya)
*Penulis adalah perancang peraturan Perundang-undangan bidang Kesra di sekretariat jenderal DPR RI.
|